Oleh M. Daffa Dhiyaulhaq
Sebagai bagian dari Generasi Z, saya tumbuh di era ketika berita tentang kebakaran hutan, banjir bandang, dan hilangnya keanekaragaman hayati sudah menjadi hal yang akrab di telinga. Hutan Indonesia yang dulu dikenal sebagai paru-paru dunia kini menghadapi ancaman yang semakin serius. Ironisnya, sebagian besar kerusakan ini muncul akibat kelalaian atau ketidaktegasan generasi sebelumnya dalam mengelola kekayaan alam. Namun, saya percaya bahwa masa depan hutan Indonesia masih bisa diselamatkan dan peran itu kini berada di tangan generasi saya.
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang terbuka, kritis, dan melek teknologi. Karakter inilah yang menjadikan kami memiliki potensi besar untuk menjadi motor perubahan dalam upaya pelestarian lingkungan. Jika dulu aktivisme identik dengan turun ke jalan, membawa poster, atau melakukan kampanye massal, kini bentuk aktivisme telah berevolusi. Kami bisa menyuarakan keresahan lewat unggahan Instagram, membuat video edukasi di TikTok, menulis opini di media online, atau menginisiasi petisi digital yang menggerakkan ribuan orang. Aktivisme lingkungan tidak lagi terbatas ruang, justru semakin kuat karena menyebar lebih cepat.
Namun, aktivisme saja tidak cukup. Saya menyadari bahwa menjaga hutan bukan sekadar soal protes, tetapi juga soal membangun kesadaran jangka panjang. Di sinilah pentingnya edukasi lingkungan. Sebagai siswa dan mahasiswa, kami berada di posisi strategis untuk menghidupkan kembali budaya literasi lingkungan di sekolah, kampus, dan komunitas. Edukasi semacam ini tidak harus selalu dalam bentuk seminar formal. Bisa juga berupa proyek kecil, seperti menanam pohon, membuat bank sampah, mengadakan kelas diskusi, atau membuat jurnal lingkungan sederhana yang terpenting adalah bagaimana setiap kegiatan mampu menumbuhkan rasa memiliki terhadap hutan Indonesia.
Salah satu tantangan terbesar yang saya rasakan adalah gap generasi. Tidak sedikit dari kalangan generasi tua termasuk sebagian pejabat atau pengambil kebijakan yang masih memandang isu hutan sebatas urusan administratif bukan sebagai urusan keberlangsungan hidup bangsa. Sering kali mereka menunda atau mengabaikan penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar, seolah-olah kerusakan hutan adalah konsekuensi biasa dalam proses pembangunan. Sebagai Gen Z, saya merasa inilah saatnya suara kami lebih didengarkan karena kami adalah pihak yang akan mewarisi dampak dari setiap keputusan hari ini.
Meski begitu, saya tetap percaya bahwa perubahan bisa terjadi ketika suara generasi muda bersatu. Banyak contoh nyata yang memperlihatkan bagaimana gerakan anak muda mampu mendorong perubahan kebijakan, mulai dari penolakan eksploitasi lahan hingga kampanye pelestarian satwa langka. Bahkan kini, beberapa komunitas Gen Z sudah terlibat langsung dalam penelitian kecil tentang kualitas udara, peta titik kebakaran, hingga pemantauan tutupan hutan berbasis citra satelit. Kombinasi kepedulian moral dan kemampuan teknologi membuat kami menjadi agen perubahan yang unik.
Saya juga percaya bahwa masa depan hutan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh gaya hidup setiap individu. Mengurangi penggunaan kertas, membeli produk ramah lingkungan, atau memilih makanan dari sumber berkelanjutan adalah bentuk kontribusi kecil yang jika dilakukan secara kolektif dapat menghasilkan dampak luar biasa. Di media sosial, saya sering melihat kampanye yang mengajak generasi muda untuk lebih sadar gaya hidup dan menurut saya inilah langkah awal yang realistis sebelum masuk ke isu-isu yang lebih besar.
Selain itu, penting juga bagi kami untuk membangun komunikasi lintas generasi. Alih-alih menyalahkan generasi sebelumnya secara membabi buta, lebih baik jika kami mengajak mereka berdialog dan menunjukkan bahwa keberlanjutan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Saya meyakini bahwa pendekatan persuasif, ditambah data dan narasi yang kuat, dapat membuka mata banyak pihak yang awalnya tidak peduli.
Pada akhirnya, saya melihat bahwa cerita tentang hutan Indonesia bukanlah cerita tentang kesedihan semata, tetapi juga tentang harapan. Generasi Z memiliki energi, kreativitas, dan idealisme yang dibutuhkan untuk mendorong lahirnya kebijakan yang lebih tegas, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada kelestarian alam. Jika kami mampu mempertahankan semangat ini, masa depan hutan Indonesia bukan hanya dapat diselamatkan, melainkan juga dapat tumbuh kembali menjadi kebanggaan bangsa.
Saya ingin generasi saya dikenal bukan sebagai generasi yang hanya aktif di media sosial, tetapi sebagai generasi yang mampu mengubah narasi kelam menjadi masa depan yang hijau. Masa depan hutan Indonesia adalah masa depan kami. Dan sebagai bagian dari Generasi Z, saya ingin mengatakan dengan tegas: kami tidak akan diam. Kami akan terus belajar, bersuara, dan bergerak. Demi hutan Indonesia, demi bumi, dan demi generasi setelah kami.
Biodata Penulis:
M. Daffa Dhiyaulhaq saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid.