Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Gondangrejo: Wilayah Perbatasan yang Sering Dianggap ‘Bukan Solo, Bukan Karanganyar’

Pernah merasa tinggal di tempat yang “nggak jelas” tapi selalu dirindukan? Yuk jelajahi Gondangrejo yang jauh di peta, namun dekat di hati.

Oleh Rima Dwi Nastiti

Tinggal di Gondangrejo itu rasanya seperti hidup di ruang tunggu rumah sakit: tidak jelas kapan dilayani, tidak jelas masuk ruangan yang mana, dan seringnya cuma disuruh “nunggu sebentar ya, Mbak.” Secara administratif sih Karanganyar, tapi ritme hidup dan arah motor saya tiap pagi ya lebih sering ke Solo. Jadilah saya ini warga yang identitasnya mengambang: orang Solo bilang saya Karanganyar, orang Karanganyar bilang saya “Solo pinggir”.

Gondangrejo
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Gondangrejo,_Karanganyar

Saya tinggal di Karangturi, dekat Plesungan. Dan percayalah, posisi ini unik karena punya satu keistimewaan: jauh dari Solo, jauh juga dari Karanganyar kota. Mau ke mana pun rasanya kayak ziarah. Google Maps bilang 20 menit, motor saya bilang 35 menit, lutut saya bilang 45 menit.

Ngurus Apa-Apa Selalu Lari ke Dua Arah

Sebagai warga Karanganyar pinggir, saya sudah hafal: kalau mau ngurus apa pun, hidup saya otomatis jadi shuttle bus. Mau dokumen penting? Ke Karanganyar kota. Mau kebutuhan harian? Ke Solo. Mau waras? Itu yang agak sulit.

Pernah suatu hari saya harus ngurus surat yang katanya “sebentar saja”. Nyatanya perjalanan Karangturi–Karanganyar kota bikin saya ingin membuka jasa meditasi sambil naik motor. Yang bikin sedih, pernah saya coba ke Solo karena merasa lebih dekat… ternyata jauh juga. Dari situ saya sadar: di Gondangrejo, yang dekat cuma perasaan lelah.

Bukan Solo, Tapi Katanya Juga Bukan Karanganyar

Masalah identitas geografis ini yang paling sering bikin saya ingin tertawa atau menangis, tergantung mood. Ketika saya menjawab, “Asal saya Karanganyar,” orang pasti menimpali:

“Karanganyarnya mana?”

“Karangturi, Gondangrejo.”

“Lho, itu Solo tho?”

“Bukan.”

“Tapi kok kayak Solo?”

Pada titik itu, saya cuma senyum. Mau dijelaskan pun percuma. Gondangrejo ini semacam daerah eksklusif yang hanya dipahami oleh warganya sendiri.

Orang Solo menganggap kami “luar kota”. Orang Karanganyar menganggap kami “anak bawang” yang kebanyakan nular budaya Solo. Lengkaplah sudah: identitas kami seperti film seri yang tidak pernah tamat.

Hidup di Lapisan Tengah yang Tidak Terlihat

Gondangrejo itu bukan kota, tapi juga bukan desa. Toko modern ada, tapi satu gang ke dalam masih dengar suara ayam. Jalan raya ramai, tapi masuk kampung langsung hening. Dan rumah saya di Karangturi persis menggambarkan itu: hidup di antara ributnya kendaraan besar dan tenangnya angin sawah.

Kadang saya iri pada orang yang tinggal di pusat kota Karanganyar, yang mau ke alun-alun tinggal gas sedikit. Atau orang Solo yang mau ke mall cukup beranjak sedikit dari tempat duduknya. Kami anak Karanganyar pinggir? Mau ke mana pun harus siap mental, bensin, dan doa.

Tapi justru di situ letak emosinya. Ada rasa “kami ini beda”, meski bedanya kadang menyakitkan.

Rumah yang Selalu Dirindukan Meski Bikin Capek

Anehnya, meski sering ngedumel hidup di perbatasan, saya selalu rindu Karangturi. Ada warung-angkringan yang hafal pesanan, jalanan kecil yang saya bisa lalui sambil merem, dan suasana sore yang membuat semua keluhan mendadak hilang.

Kadang saya berpikir, mungkin Gondangrejo tidak butuh label jelas. Tidak harus Solo, tidak harus Karanganyar. Ia tempat tumbuh kembang orang-orang pinggiran yang belajar mandiri, belajar sabar, dan belajar tertawa atas nasib sendiri.

Dan kalau dipikir-pikir, “nggak jelas” juga kadang nyaman.

Karena pada akhirnya, meskipun jauh dari Solo dan Karanganyar kota… Gondangrejo tetap paling dekat di hati.

Biodata Penulis:

Rima Dwi Nastiti saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.