Oleh Laily Muqrirotul Aini
Dalam kehidupan mahasiswa, IPK sering kali menjadi ukuran utama kesuksesan. Nilai tinggi dianggap sebagai tiket menuju masa depan yang cerah. Karena itu, banyak mahasiswa rela begadang, minum kafein berlebih, dan memaksa diri terus produktif, meski tubuh sudah lelah. Fenomena ini tampak lumrah, tetapi sebenarnya menyimpan risiko besar. Di balik ambisi mengejar IPK tinggi, ada kesehatan fisik dan mental yang perlahan terkikis.
Tekanan akademik datang dari banyak arah. Kampus menuntut standar tertentu, dosen memberi tugas bertumpuk, dan keluarga menyimpan harapan besar. Tidak jarang mahasiswa menambah tekanan pada dirinya sendiri melalui standar perfeksionis: harus selalu mendapat A, harus selalu tampil terbaik, harus selalu produktif. Ketika melihat teman sebaya memamerkan prestasi di media sosial, rasa tertinggal muncul begitu saja, sehingga mahasiswa semakin memforsir diri tanpa mempertimbangkan batas kemampuan tubuh.
Ketika Kesehatan Mulai Dikalahkan Oleh Ambisi
Mengabaikan kesehatan demi nilai bukanlah hal sepele. Begadang berulang-ulang dan kurang istirahat menyebabkan daya fokus dan ingatan menurun drastis. Materi yang seharusnya mudah dipahami tiba-tiba terasa rumit. Konsumsi kafein yang berlebihan pun membuat tubuh mudah gemetar, jantung berdebar, dan sulit tidur. Pada akhirnya, tubuh bekerja tidak stabil.
Di sisi lain, kesehatan mental juga ikut tertekan. Banyak mahasiswa mengalami kecemasan mendalam menjelang ujian, overthinking terhadap nilai, hingga burnout kondisi ketika seseorang merasa sangat lelah secara emosional dan kehilangan motivasi. Ironisnya, ketika kondisi mental menurun, produktivitas belajar ikut terhambat. Mahasiswa yang awalnya ingin mempertahankan IPK tinggi justru kesulitan belajar karena stres yang berkepanjangan.
Dampaknya tidak berhenti pada diri sendiri. Hubungan sosial bisa terganggu, waktu bersama keluarga berkurang, dan kegiatan yang biasanya menyenangkan menjadi terasa membebani. Ambisi akademik yang awalnya positif bisa berubah menjadi sumber tekanan yang mengasingkan mahasiswa dari keseimbangan hidup.
IPK Penting, Tapi Bukan Segalanya
Tidak bisa dipungkiri bahwa IPK memiliki perannya. Nilai tinggi membantu membuka peluang beasiswa, magang, atau seleksi awal pekerjaan tertentu. Namun, seiring perkembangan dunia kerja, perusahaan kini semakin mementingkan hal-hal lain di luar nilai akademik, seperti kemampuan komunikasi, kerja sama, kreativitas, pemecahan masalah, dan portofolio pengalaman.
Banyak lulusan dengan IPK sedang tetapi memiliki keterampilan praktis yang kuat justru lebih berhasil di dunia kerja dibanding mereka yang menghabiskan seluruh masa kuliah hanya fokus pada nilai. Dengan kata lain, IPK adalah salah satu komponen, bukan satu-satunya penentu masa depan.
Jika kesehatan terganggu, IPK justru semakin sulit diraih. Tidak sedikit mahasiswa yang terjebak dalam lingkaran stres: memforsir diri belajar, jatuh sakit, nilai turun, lalu semakin stres karena IPK tidak sesuai harapan. Mereka kemudian memaksa diri lebih keras, dan lingkaran itu berulang. Ini membuktikan bahwa kesehatan dan IPK sebenarnya tidak bisa dipisahkan.
Mencari Keseimbangan Antara Prestasi dan Kesehatan
Kabar baiknya, mahasiswa tidak harus memilih antara IPK tinggi atau kesehatan. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan, yakni cara hidup dan belajar yang tidak merusak tubuh maupun pikiran.
Langkah pertama adalah mengatur pola belajar secara realistis. Tidak perlu memaksakan belajar sepanjang malam. Gunakan metode seperti pomodoro, tentukan prioritas tugas, dan hindari multitasking yang menguras energi. Belajar cerdas jauh lebih efektif daripada belajar lama tanpa arah.
Selanjutnya, terapkan metode belajar yang sudah terbukti membantu, seperti active recall yaitu membuat pertanyaan dari materi, menutup buku lalu mencoba menjawab sendiri. Dan ada juga metode spaced repetition yaitu teknik mengulang materi secara bertahap dalam jarak waktu tertentu, misalnya hari ini belajar bab 1, besok mengulang 5 menit, tiga hari kemudian mengulang lagi, seminggu berikutnya mengulang sekali lagi. Kedua teknik ini membuat belajar lebih efisien, sehingga mahasiswa tidak perlu memaksakan diri belajar berjam-jam hingga larut malam. Dengan cara ini, pemahaman meningkat tanpa mengorbankan kesehatan.
Tidak kalah penting, rawat kesehatan fisik. Tidur cukup, minum air yang cukup, makan teratur, dan sisakan sedikit waktu untuk bergerak atau olahraga ringan. Tubuh yang sehat membantu meningkatkan produktivitas dan fokus. Begitu pula dengan kesehatan mental: batasi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, tetap lakukan hobi, dan jangan ragu mencari bantuan apabila merasa kewalahan.
Terakhir, kelola ekspektasi. Tidak semua nilai harus sempurna, dan tidak semua semester harus berjalan mulus. Mahasiswa perlu menerima bahwa manusia memiliki batas, dan batas itu perlu dihormati. Tekanan tidak selalu menghasilkan prestasi; sering kali tekanan justru menghancurkan proses belajar itu sendiri.
IPK memang penting, tetapi kesehatan jauh lebih berharga. Tanpa tubuh dan pikiran yang sehat, proses belajar menjadi lebih sulit dan prestasi menjadi lebih rapuh. Mahasiswa tidak perlu memilih salah satu; yang perlu mereka lakukan adalah menjalani proses belajar dengan cara yang lebih seimbang, bijak, dan manusiawi.
Pada akhirnya, untuk apa IPK sempurna jika tubuh dan pikiran kita sendiri tidak lagi kuat? Prestasi terbaik lahir dari proses yang sehat, bukan dari pengorbanan yang membuat kita kehilangan diri sendiri.
Biodata Penulis:
Laily Muqrirotul Aini saat ini aktif sebagai mahasiswa di UNS.