Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Haul Solo: Antara Rindu Ulama dan Berkah yang Menghidupkan Kota

Haul Solo bukan sekadar tradisi, tapi mudik spiritual yang menghidupkan iman dan ekonomi. Mari menyelami berkah, kebersamaan, dan denyut kota Solo.

Oleh Nuriyatin Fighya

Setiap tahun, Solo punya momen yang bikin kota ini mendadak jadi lautan manusia: Haul Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Bagi sebagian orang, haul ini bukan sekadar acara keagamaan, tapi juga semacam “mudik spiritual” — perjalanan rindu yang tak butuh tiket pulang, karena hatinya sudah sampai duluan.

Haul Solo

Haul Solo bukan cuma soal pembacaan maulid, doa bersama, dan pengajian yang khusyuk. Lebih dari itu, ia sudah menjelma jadi wisata religi yang hidup dan menghidupi. Bukan hanya jamaah yang datang untuk mencari berkah, tapi juga warga Solo yang mendapat rezeki dari perputaran ekonomi di sekitarnya. Pedagang kecil, UMKM, penjual minuman, pelaku seni, sopir becak, pengusaha rumah makan, hingga hotel — semuanya ikut merasakan hangatnya berkah haul.

Bayangkan saja, puluhan ribu orang datang dari berbagai daerah. Dari Madura sampai Makassar, dari Yaman sampai kampung sebelah. Jalanan padat, tapi senyum di mana-mana. Pedagang yang biasanya sepi mendadak kewalahan, tapi bahagia. Warung nasi liwet penuh, penginapan habis, bahkan tukang ojek online pun dapat rezeki nomplok. Haul Solo bukan sekadar tradisi, tapi denyut ekonomi yang menghidupkan kota.

Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada sisi lain yang bikin hati hangat. Di setiap sudut Pasar Kliwon, orang-orang saling sapa tanpa kenal. Ada yang rela berbagi air mineral, ada ibu-ibu yang masak ribuan porsi di dapur umum tanpa berharap dibayar. Semuanya digerakkan oleh satu hal: cinta kepada ulama dan rasa kebersamaan yang langka ditemukan di tempat lain.

Haul ini memang tentang mengenang Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi — ulama besar asal Yaman yang karya dan ajarannya menyebar hingga ke tanah Jawa. Tapi lebih dari sekadar mengenang, haul di Solo adalah cara umat belajar untuk guyub, tulus, dan saling menolong. Di tengah panas, macet, dan sinyal yang entah ke mana, ada semangat gotong royong yang menular.

Kalau dipikir-pikir, mungkin inilah yang membuat Haul Solo terasa istimewa: ia mengajarkan bahwa spiritualitas tidak selalu lahir dari kesunyian, tapi bisa juga tumbuh di tengah keramaian. Bahwa berkah itu bukan cuma tentang doa yang diucap, tapi juga rezeki yang mengalir, tawa yang dibagi, dan tangan-tangan yang saling membantu.

Setiap kali haul tiba, Solo seolah diingatkan kembali bahwa kota ini bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat berkumpulnya cinta, rindu, dan rezeki yang berpadu jadi satu.

Dan entah kenapa, setiap kali acara berakhir, ada rasa yang sama seperti setelah menuntaskan doa panjang: lelah, tapi bahagia — karena tahu, semua ini bukan sekadar tradisi, melainkan berkah yang harus dijaga.

Biodata Penulis:

Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa

© Sepenuhnya. All rights reserved.