Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Integrasi Ilmu: Menyatukan Rasionalitas Sains dan Kebijaksanaan Agama

Ayo kenali kembali hubungan harmonis antara wahyu dan akal dalam tradisi Islam, dan bagaimana integrasi ilmu menjadi kunci menghadapi tantangan zaman.

Oleh Lulu’ul Kamaliyah

Hubungan antara sains dan agama sering digambarkan sebagai dua wilayah pengetahuan yang saling bertentangan. Sains dianggap berbasis rasionalitas, observasi, dan eksperimen, sementara agama dipahami sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu dan bersifat normatif. Pandangan dikotomis ini sebenarnya merupakan warisan sejarah peradaban Barat modern. Namun, dalam perspektif Islam, pemisahan seperti itu tidak dikenal. Sejak awal, tradisi keilmuan Islam memandang sains dan agama sebagai dua jalan pencarian kebenaran yang saling melengkapi. Inilah fondasi yang kini dikenal sebagai gagasan integrasi ilmu  sebuah upaya menyatukan rasionalitas ilmiah dengan kebijaksanaan spiritual.

Integrasi Ilmu

Dalam epistemologi Islam, pengetahuan bersumber dari dua instrumen utama: wahyu (naqli) dan akal (aqli). Wahyu memberikan nilai, arah, dan tujuan hidup, sementara akal menjadi alat untuk memahami fenomena alam yang diciptakan Tuhan. Keduanya tidak pernah diposisikan sebagai lawan, tetapi sebagai pasangan yang saling menyempurnakan. Karena itu, ketika para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Al-Khawarizmi meneliti matematika, kedokteran, atau astronomi, mereka melakukannya bukan untuk memisahkan sains dari agama, tetapi sebagai bentuk ibadah intelektual untuk mengenal kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya.

Dalam konteks modern, integrasi ilmu menjadi semakin penting. Perkembangan teknologi yang cepat membawa berbagai kemajuan, tetapi juga menimbulkan tantangan etis: manipulasi genetik yang tanpa batas, eksploitasi alam, sampai penyalahgunaan kecerdasan buatan. Sains yang berjalan tanpa etika dapat kehilangan arah dan merugikan manusia. Di sisi lain, agama yang menolak perkembangan ilmiah dapat terperangkap dalam dogmatisme dan kurang relevan dengan isu-isu kontemporer. Karena itu, harmonisasi keduanya bukan hanya ideal teoretis, tetapi kebutuhan nyata dalam kehidupan modern.

Integrasi ilmu mengajarkan bahwa sains menjawab bagaimana alam bekerja, sedangkan agama menjawab mengapa dan untuk tujuan apa manusia hidup. Sains memberikan data dan penjelasan empiris, sementara agama memberi nilai moral dan hikmah agar ilmu digunakan secara bertanggung jawab. Ketika keduanya berjalan bersama, lahirlah cara pandang yang holistik: manusia memahami dunia dengan akal, tetapi tetap dipandu oleh nilai spiritual yang menjaga keseimbangan.

Bagi dunia pendidikan, konsep ini sangat strategis. Peserta didik tidak boleh dipaksa memilih antara menjadi rasional atau religius. Mereka perlu menyadari bahwa menjadi ilmiah tidak berarti meninggalkan nilai-nilai agama, dan menjadi religius tidak berarti menolak temuan-temuan ilmiah. Melalui pendekatan integratif, ilmu sains dapat dipahami sebagai bagian dari ayat-ayat kauniyah  tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta sementara agama menjadi fondasi etis untuk memanfaatkan ilmu secara bijak.

Dengan demikian, integrasi ilmu bukan sekadar gagasan filosofis, tetapi jalan menuju peradaban yang beradab: peradaban yang menggabungkan kekuatan akal dan kedalaman iman, kecanggihan teknologi dan keluhuran moral. Di era modern yang penuh perubahan, harmonisasi sains dan agama menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang tidak hanya maju secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan etis.

Biodata Penulis:

Lulu'ul Kamaliyah, lahir pada tanggal 4 Februari 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, program studi Pendidikan Agama Islam.

© Sepenuhnya. All rights reserved.