Aceh sedang tidak baik-baik saja.

IPK Bukan Segalanya, Tapi Siapa yang Nggak Pengen Cumlaude?

Yuk lihat perjuangan mahasiswa dalam menjaga IPK, beasiswa, dan kewarasan. Belajar bukan hanya soal nilai, tapi juga soal bertahan di dalam sistem.

Oleh Cindy Rhiyan Agustin

Dari awal masuk kuliah, hampir setiap dosen pasti bilang “nilai itu cuma angka, yang paling penting kita paham dari setiap materi yang dipelajari.” Tapi entah kenapa, ketika menjelang akhir semester, semua orang berlomba untuk mendapat IP yang bagus. Nilai katanya bukan segalanya, tapi kalau IPK jeblok, siapa yang stres duluan? Ya kita juga. Apalagi buat anak-anak yang dapat beasiswa, hatinya pasti berdetak 10x lebih kencang karena takut beasiswanya dicabut. Dosen santai, kampus adem, tapi mahasiswa menangis dalam diam sambil ngetik, “Gimana cara naikin IP semester depan?” di kolom pencarian Google.

IPK Bukan Segalanya, Tapi Siapa yang Nggak Pengen Cumlaude

Di awal kuliah banyak mahasiswa idealis. Mereka bilang, “Aku kuliah buat belajar, bukan buat nilai.” Lalu setelah UTS pertama selesai, idealisme itu ditampar realita yang cukup menusuk jantung, dada, beserta jajarannya. Tiba-tiba semua berubah, yang tadinya santai, jadi rajin, yang tadinya bilang “IPK gak penting,” mulai mengubah mindset, dan yang tadinya ga peduli nilai, mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri “Beasiswa ku dicabut apa engga ya? Aku masih bisa dapet A ga ya besok di akhir semester? Aku bisa cumlaude ga ya?” Begitulah hidup di kampus, semua orang berlomba-lomba yang katanya nggak penting, ujung-ujungnya ikut juga.

IPK tinggi memang nggak menjamin sukses, tapi IPK rendah bisa menjamin stres. Bukan karena malu, tapi karena tanggung jawab. Belum lagi nanti ditembak pertanyaan dari keluarga:

“IPK kamu berapa sekarang?”

“Semester ini 3,00”

“.....”

Jujur, nilai A di kuliah lebih susah daripada dapet pasangan yang setia. Butuh kerja keras, begadang, dan sedikit kata “hoki”.

Orang-orang sering bilang, “Yang penting itu skill, bukan nilai.” Tapi anehnya, waktu daftar magang atau kerja, kolom IPK masih aja diminta. Skill penting, tapi IPK tetap dicatat. Kayak bilang cinta itu soal hati, tapi tetap lihat dompet dulu.

IPK nggak pernah tahu kamu ngerjain tugas sambil kerja part-time atau ngetik makalah di warkop karena WiFi kos mati total, itupun masih revisi. Dia nggak tahu seberapa keras kamu berjuang Cuma buat lulus tepat waktu, bukan buat dapat A sempurna. Tapi ya, IPK tetap jadi tolak ukur utama. Dia yang menentukan beasiswa, magang, bahkan seberapa lega napas orang tua saat baca KHS kamu. Kita boleh bilang IPK bukan segalanya, tapi jujur aja, semua mahasiswa tetap ngecek siakad lebih cepat dari notifikasi Gopay masuk. Bahkan yang bilang, “Santai aja, nilai bukan segalanya,” pun tetap refresh halaman KHS berkali-kali.

Pada akhirnya, IPK memang bukan segalanya. Tapi mari jujur, tanpa IPK yang lumayan, hidup di dunia pendidikan bisa terasa kayak main game tanpa nyawa cadangan. Kita boleh sok idealis bilang, “Yang penting proses.” Tapi begitu nilai keluar, yang kita buka bukan buku motivasi — melainkan siakad. Jadi ya, teruslah belajar, tapi jangan lupa: kadang bertahan di sistem yang absurd juga bentuk kecerdasan. Karena di negeri di mana gelar lebih cepat dibaca daripada isi kepala, menjaga IPK tetap waras pun sudah prestasi tersendiri.

Biodata Penulis:

Cindy Rhiyan Agustin saat ini aktif sebagai mahasiswa di UNS.

© Sepenuhnya. All rights reserved.