Oleh Fajar Nur Hidayat
Bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk menyamarkan kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan kata-kata yang terdengar lebih “halus” agar tetap sopan dan itulah yang disebut eufemisme. Fenomena ini sangat umum seperti “pemulung” disebut “pahlawan daur ulang”, “PHK” berubah menjadi “perampingan tenaga kerja”, dan “tahanan” disebut “klien lembaga pemasyarakatan”. Kata-kata ini memang terdengar lebih nyaman, tetapi sering kali membuat realitas menjadi kabur.
Eufemisme lahir dari kecenderungan manusia menghindari kenyataan pahit. Ia berperan sebagai pelindung psikologis yang membuat realitas terasa lebih ringan. Namun, dalam dunia politik dan media, eufemisme tidak lagi sekadar soal kesopanan namun ia berubah menjadi alat untuk memoles kenyataan dan bahkan memanipulasi pikiran publik. Pemerintah, perusahaan, hingga individu dapat menggunakannya untuk menutupi kesalahan atau memperhalus kebijakan yang tidak populer.
Akibatnya, kejujuran bahasa perlahan memudar. Kata-kata yang seharusnya mengungkap malah menutupi. Jika dibiarkan, masyarakat bisa kehilangan kepekaan terhadap makna sebenarnya. Contohnya, kata “meninggal” sering diganti menjadi “tidak tertolong” atau “gagal diselamatkan” demi mengurangi beban emosional keluarga. Di sisi lain, penggunaan eufemisme yang berlebihan membuat kita terbiasa hidup dalam ilusi.
Lebih jauh lagi, eufemisme dapat memengaruhi cara kita melihat keadilan dan tanggung jawab moral. Ketika “korupsi” diganti dengan “penyalahgunaan kewenangan”, atau kerusakan lingkungan disebut “ketidaksesuaian tata ruang”, makna sesungguhnya terkubur di balik kata-kata yang dipoles. Bahasa berubah menjadi perban yang menutupi luka, tetapi tidak pernah benar-benar menyembuhkannya.
Pada akhirnya, eufemisme memang membuat bahasa terasa lebih halus, tetapi tidak seharusnya mengaburkan kebenaran. Kita tetap bisa sopan tanpa harus memalsukan fakta. Bahasa yang jujur membantu kita melihat masalah dengan jelas, sedangkan bahasa yang menipu hanya memperpanjang persoalan. Karena itu, gunakan eufemisme seperlunya demi menjaga perasaan, bukan untuk menutupi kenyataan. Ketika kata-kata kehilangan makna aslinya, luka sosial justru semakin dalam.
Biodata Penulis:
Fajar Nur Hidayat lahir pada tanggal 17 September 2006.