Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Menyapa Mitos dengan Mikroskop: Kearifan Obat Tradisional dalam Farmasi

Indonesia sangat kaya akan keberagaman budaya dan alamnya. Setiap daerah mempunyai ramuan atau obat tradisional khas daerahnya masing-masing yang ...

Oleh Jesica Clara Oktavia Tua Marpaung

Sejak dulu, masyarakat Indonesia sudah biasa menggunakan bahan alam sebagai ramuan atau obat tradisional. Ada yang percaya kencur bisa meredakan batuk, daun salam dapat mengurangi asam lambung, dan jahe dapat meredakan mual. Sebagian orang yang hidup di zaman sekarang berpendapat bahwa, ramuan atau obat tradisional ini dianggap sekedar mitos atau kebiasaan nenek moyang yang belum jelas kebenarannya secara ilmiah. Namun sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, banyak hasil penelitian membuktikan bahwa kebiasaan nenek moyang atau obat tradisional ini mempunyai dasar ilmiah yang kuat. Inilah letak menariknya, ketika “mikroskop” mulai menyapa “mitos”, keduanya tidak saling bertolak belakang, melainkan saling memperkuat cara manusia mendalami dunia kesehatan yang lebih dalam lagi.

Mikroskop

Indonesia sangat kaya akan keberagaman budaya dan alamnya. Setiap daerah mempunyai ramuan atau obat tradisional khas daerahnya masing-masing yang dipercaya bisa mengobati penyakit. Di daerah asal saya sendiri, masih banyak orang tua yang menggunakan air rebusan daun jambu biji untuk meredakan diare atau menggunakan perasan kunyit untuk meredakan pilek berkepanjangan. Pandangan ini bukan berasal dari laboratorium, melainkan dari pengalaman masyarakat yang sering menggunakan bahan alam sebagai ramuan atau obat tradisional. Hal ini juga dikenal dengan kearifan lokal, pandangan yang muncul dari kebiasaan yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sendiri. Terkadang pandangan ini dianggap mitos dan kurang dipercaya, banyak keterangan langsung dari pengalaman masyarakat terhadap penggunaan obat tradisional bahwa ini memang bekerja efektif. Jadi, apakah mitos itu hanya sekedar cerita khayalan semata atau bahkan awal dari penemuan ilmiah yang belum diketahui seutuhnya?

Dalam dunia farmasi, keyakinan saja tidak cukup. Semua hal harus bisa dibuktikan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mikroskop menjadi simbol cara berpikir modern yang digunakan untuk menganalisis, menguji, dan mencari tahu apa yang benar-benar terjadi di balik suatu zat. Melalui penelitian farmakognosi misalnya, para ilmuwan menemukan bahwa temulawak mengandung kurkumin yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dan sambiloto memiliki senyawa andrographolide yang bersifat antimikroba. Tanaman yang dulunya dianggap “ramuan kampung” kini dipelajari lebih lanjut lagi untuk dijadikan bahan obat. Proses ini menunjukkan bahwa sains bukan untuk menolak tradisi terdahulu, melainkan untuk memahaminya secara lebih dalam lagi. Mikroskop, dalam arti simbolis, membantu kita melihat keindahan logika di kebijaksanaan lama.

Kini, banyak peneliti mencoba menyatukan pengetahuan tradisional dengan pendekatan ilmiah. Pada etnofarmasi misalnya, tanaman obat yang sudah dipakai masyarakat dikembangkan lebih lanjut lagi agar bisa menciptakan produk farmasi yang aman dan efisien. Tradisi memberi inspirasi dan sains memberi validasi. Sebagai mahasiswa farmasi, saya merasa kedua ilmu ini penting untuk dipelajari dan dihargai. Belajar tentang obat saja tentu tidak akan cukup jika hanya memahami rumus atau struktur kimianya, tetapi juga tentang konteks budaya dan filosofi yang menyertai penggunaannya. Dari situlah muncul kesadaran bahwa sains dan budaya sangat penting dan selalu berjalan beriringan.

Kearifan lokal dan ilmu farmasi modern sama-sama bermula dari rasa ingin tahu manusia terhadap alam. Masyarakat tradisional meramu obat dengan naluri dan pengalaman, sementara ilmuwan menelitinya dengan metode dan data. Ketika keduanya bertemu, terbentuklah pemahaman yang lebih utuh dan dapat dipertanggungjawabkan tentang kesehatan dan kehidupan. Mikroskop dan mitos bukan dua hal yang saling menghilangkan, tetapi dua cara manusia mencari kebenaran dengan bahasanya masing-masing. Saya percaya, masa depan farmasi Indonesia akan lebih kuat jika sains dan budaya berjalan beriringan sehingga ilmu tidak hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat terhadap kebiasaan nenek moyang, karena di antara mikroskop dan mitos tersimpan jembatan ilmu yang menumbuhkan kemanusiaan.

Biodata Penulis:

Jesica Clara Oktavia Tua Marpaung saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Mulawarman.

© Sepenuhnya. All rights reserved.