Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kecerdasan Buatan (AI) dan Akal Manusia: Pandangan Islam di Era Digital

Mari menelaah kecerdasan buatan dengan kacamata Islam, agar teknologi berkembang sejalan dengan akal, moral, dan nilai kemanusiaan.

Oleh Dini Sekar Arum

Beberapa tahun terakhir, istilah kecerdasan buatan atau AI begitu sering terdengar. Dari kamera HP yang bisa mengenali wajah, chatbot yang bisa menjawab pertanyaan, sampai sistem rekomendasi yang tahu apa yang kita sukai sebelum kita sendiri sadar. Perkembangan ini membuat sebagian orang kagum, namun tak sedikit yang merasa cemas seolah-olah teknologi mulai menyaingi cara berpikir manusia. Wajar jika muncul pertanyaan: apakah AI akan menggantikan peran manusia?

Kecerdasan Buatan (AI) dan Akal Manusia

Untuk melihat fenomena ini secara lebih jernih, kita perlu memahami bagaimana Islam memandang akal dan teknologi. Dunia digital hari ini bergerak sangat cepat. Banyak pekerjaan yang dulu hanya bisa dilakukan manusia, kini dikerjakan oleh mesin cerdas. AI bisa membaca wajah, memprediksi perilaku, bahkan menghasilkan teks atau gambar hanya dalam hitungan detik. Namun secanggih apa pun AI, ia tetaplah ciptaan manusia dan bekerja berdasarkan data yang diberikan kepadanya.

Dalam Islam, akal adalah anugerah besar yang membuat manusia memiliki kedudukan istimewa. Dengan akal, manusia diberi kemampuan untuk memilih, mempertimbangkan, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk yatafakkar (berpikir), ya’qilun (menggunakan akal), dan yatadabbarun (merenungkan). Akal manusia bukan hanya mengolah informasi, tetapi juga memadukan moral, empati, intuisi, dan kesadaran diri hal-hal yang tidak dimiliki oleh mesin.

AI mungkin mampu menghafal, menganalisis pola, atau mengerjakan tugas rumit dalam waktu singkat, tetapi ia tidak punya kehendak, tidak punya rasa, dan tidak punya tanggung jawab moral. Semua output yang muncul hanyalah hasil dari data dan perintah manusia. Dengan kata lain, AI bisa tampak “pintar”, tetapi tidak memiliki akal.

Perkembangan AI memang membawa manfaat besar, tetapi juga menimbulkan pertanyaan etis: bagaimana jika AI disalahgunakan? Bagaimana dengan privasi, keamanan data, atau manipulasi informasi? Di sinilah agama memiliki fungsi penting sebagai pengarah moral. Islam mengajarkan prinsip seperti keadilan, kejujuran, menjaga amanah, dan larangan merugikan orang lain. Prinsip-prinsip inilah yang perlu diterapkan ketika teknologi digunakan. AI bukan masalahnya; cara manusia menggunakannyalah yang menentukan apakah ia membawa maslahat atau mudarat.

Jika digunakan dengan bijak, AI justru dapat memperkaya kehidupan beragama. Sekarang orang bisa belajar tajwid lewat aplikasi, membaca tafsir dengan mudah, mengikuti kajian secara daring, bahkan menggunakan mesin pencari hadis untuk mempercepat penelitian. Namun, ada pula tantangan: banjir informasi, konten keagamaan yang keliru, atau kecenderungan umat menjadi pasif karena merasa semua serba instan. Di sinilah peran akal, guru, dan pembimbing tetap tidak tergantikan.

Bagi seorang Muslim, AI seharusnya dipandang sebagai alat bantu, bukan sebagai otoritas. Pengetahuan agama tetap membutuhkan bimbingan guru, pemahaman hati, dan kedalaman pengalaman spiritual.

AI memang membuat hidup lebih mudah. Tapi ia tidak akan pernah menggantikan peran unik manusia sebagai makhluk yang berpikir dengan akal dan hati. Justru perkembangan AI mengingatkan kita untuk semakin bijak bukan hanya terus menciptakan teknologi, tetapi juga merenungkan arah penggunaannya.

Pada akhirnya, Islam tidak menghalangi perkembangan sains. Yang ditekankan adalah bagaimana teknologi tetap berpijak pada nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Selama manusia memegang kendali, AI akan menjadi alat yang memperkuat peradaban, bukan ancaman bagi masa depan.

Biodata Penulis:

Dini Sekar Arum, lahir pada tanggal 11 Februari 2005 di Pekalongan, saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.