Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Keluarga, Madrasah Utama Karakter Anak Indonesia

Yuk kembali sadari peran penting keluarga sebagai madrasatul ula. Bangun karakter dan moral anak lewat pengasuhan penuh teladan dan komunikasi hangat.

Oleh Qonita Najma Athira

Keluarga, terutama orang tua, sering disebut sebagai Al-Ummu Madrasatul Ula—bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Ungkapan ini bukan hanya sekadar pepatah, tapi sebuah realitas sosiologis dan psikologis yang tidak dapat dipungkiri. Sebelum seorang anak mengenal bangku sekolah, guru, atau lingkungan sosial yang lebih luas, keluargalah yang pertama kali memberikan nilai, pola pikir, kebiasaan, serta cara memahami kehidupan. Dalam konteks ini keluarga menjadi pondasi utama yang menentukan kualitas karakter seseorang di masa depan.

Keluarga, Madrasah Utama Karakter Anak Indonesia

Peran keluarga sebagai institusi pendidikan pertama tercermin dari interaksi awal antara anak dengan orang tua. Sejak bayi, anak belajar mengenal emosi, bahasa, dan respons sosial melalui figur orang tua. Cara orang tua mengasuh, merespons tangisan, memberikan sentuhan, hingga memberikan perhatian akan membentuk pola keterikatan (attachment) yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosional anak. Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga yang hangat dan suportif biasanya memiliki rasa percaya diri yang lebih baik, mampu mengelola emosi, serta mudah menjalin hubungan sosial yang sehat. Sebaliknya, pola asuh yang keras, mengabaikan kebutuhan emosional, atau lingkungan keluarga yang penuh konflik dapat menanamkan rasa cemas, rendah diri, hingga perilaku agresif.

Selain itu, keluarga juga merupakan tempat pertama anak mempelajari nilai moral dan etika. Misalnya, konsep kejujuran, tanggung jawab, disiplin, sopan santun, serta empati tidak muncul begitu saja ketika anak memasuki sekolah. Semua itu sudah diperoleh melalui teladan orang tua. Ketika orang tua secara konsisten menunjukkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, anak akan menirunya secara alami. Anak tidak hanya mendengar nasihat, tetapi juga melihat praktik nyata dalam kehidupan keluarga. Di sinilah prinsip learning by example sangat berlaku: anak belajar lebih efektif dari apa yang ia lihat, bukan dari apa yang ia dengar.

Keluarga juga memiliki peran besar dalam membentuk identitas dan kepribadian anak. Lingkungan keluarga yang penuh dialog, memberi ruang bagi anak untuk mengungkapkan pendapat, dan menghargai proses berpikir akan mengembangkan anak menjadi pribadi kritis dan terbuka. Namun, jika keluarga membatasi ruang anak untuk bertanya atau berekspresi, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang pasif atau takut salah. Maka, pola komunikasi keluarga sangat menentukan perkembangan intelektual dan mental anak.

Dalam konteks pendidikan modern, tidak sedikit orang tua yang beranggapan bahwa tugas utama mendidik anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Pemahaman ini keliru dan pada akhirnya menghasilkan anak-anak yang tumbuh tanpa fondasi emosional dan moral yang kuat. Sekolah memang berperan penting dalam memberikan pendidikan formal, namun sekolah hanya melanjutkan apa yang telah ditanamkan oleh keluarga. Sekolah tidak mungkin bisa membangun karakter anak secara total apabila dalam keluarga tidak ada harmoni, disiplin, dan keteladanan. Perlu dipahami bahwa pendidikan karakter adalah proses yang berlangsung sepanjang waktu, dan bagian terbanyak dari waktu anak justru dihabiskan dalam lingkungan keluarga.

Keberhasilan pendidikan di sekolah juga sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan dalam keluarga. Anak yang terbiasa didengar, diperhatikan, dan diajak berdiskusi di rumah akan lebih mudah mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Ia terbiasa berpikir, bertanya, dan mengembangkan rasa ingin tahu. Sebaliknya, anak yang mengalami kekerasan verbal atau emosional di rumah mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar, sulit berkonsentrasi, atau memiliki masalah perilaku di sekolah. Banyak penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa stabilitas keluarga berperan besar dalam menentukan prestasi akademik anak.

Dalam masyarakat modern yang semakin kompleks, peran keluarga sebagai madrasatul ula juga menghadapi tantangan. Banyak orang tua yang sibuk bekerja sehingga interaksi dengan anak berkurang. Gadget sering kali menjadi pengganti figur orang tua karena dianggap mampu menenangkan atau menghibur anak. Jika tidak diawasi, hal ini dapat mengurangi kualitas komunikasi dan kelekatan emosional. Anak menjadi lebih dekat dengan dunia digital daripada dengan orang tuanya. Fenomena ini dapat mengganggu proses pembentukan karakter yang seharusnya terjadi melalui proses pengasuhan langsung.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menyadari kembali peran strategis mereka dalam pendidikan anak. Orang tua perlu menyediakan waktu berkualitas (quality time), membangun komunikasi yang sehat, serta menciptakan lingkungan rumah yang kondusif. Pendidikan anak bukan hanya tentang memastikan mereka berprestasi di sekolah, tetapi juga memastikan bahwa mereka tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak, berempati, dan mampu berkontribusi bagi masyarakat. Dengan demikian, keluarga benar-benar dapat menjadi madrasatul ula yang menghasilkan generasi berkualitas.

Kesimpulan

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama. Melalui interaksi sehari-hari, anak belajar tentang emosi, nilai moral, etika, serta pola perilaku yang akan membentuk kepribadiannya di masa depan. Peran orang tua, terutama ibu sebagai madrasatul ula, sangat menentukan kualitas karakter dan kesiapan anak dalam menghadapi pendidikan formal serta kehidupan sosial. Sekolah hanya melanjutkan dasar yang telah dibangun keluarga, sehingga keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada kualitas pengasuhan di rumah. Di tengah tantangan modern seperti kesibukan orang tua dan pengaruh teknologi, penting bagi keluarga untuk tetap memberikan perhatian, teladan, dan lingkungan yang kondusif. Dengan demikian, keluarga dapat benar-benar menjadi fondasi kuat yang melahirkan generasi yang berkarakter, berakhlak, dan berdaya saing.

Referensi:

  1. Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
  2. Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  3. Hastuti, D. (2015). “Keberhasilan Pendidikan Anak Usia Dini dalam Keluarga.” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.
  4. Lestari, Sri (2016). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik. Sleman: Pustaka Pelajar.

Biodata Penulis:

Qonita Najma Athira, ⁠lahir pada tanggal 26 Juli 2007 di Tangerang, ⁠saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi.

© Sepenuhnya. All rights reserved.