Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Keluarga Sehat Itu Diupayakan: Bagaimana Konselor Membantu Keluarga Bertahan?

Bingung kenapa keluarga lain harmonis sedangkan rumah tangga sendiri sering cekcok? Yuk pelajari cara menyelesaikan konflik bersama konselor.

Oleh Khansaa Aqiilah

Pernah nggak sih kamu kepikiran kenapa ada keluarga yang terlihat adem ayem, harmonis, kayak semuanya berjalan rapi sementara ada keluarga lain yang gampang banget kebakaran jenggot hanya karena hal kecil? Padahal sama-sama manusia, sama-sama punya masalah, tapi kok responsnya bisa sejauh itu berbeda?

Banyak orang berpikir bahwa modal cinta saja sudah cukup. Padahal, menurut teori perkembangan keluarga, sebuah keluarga adalah sistem yang dinamis. Setiap anggota juga saling mempengaruhi, mulai dari gaya komunikasi, cara menghadapi stres, sampai cara menunjukkan kasih sayang. Kalau salah satu terganggu, efeknya bisa menjalar ke seluruh anggota. Ketika satu anggota berubah (misalnya anak beranjak remaja atau ibu mulai bekerja), seluruh sistem keluarga ikut berguncang. Di sinilah sering terjadi ‘korsleting’ komunikasi.

Keluarga Sehat

Sayangnya, nggak semua keluarga bisa menyadari perubahan itu, apalagi mengelolanya. Akibatnya muncul masalah klasik: pertengkaran suami-istri, pola asuh yang nggak sinkron, komunikasi yang buntu, tekanan ekonomi, cemburu, perselingkuhan, sampai keputusan ekstrim seperti perceraian. Data BPS mencatat bahwa sepanjang 2024 terdapat 394.608 kasus perceraian dan angka ini menunjukan banyaknya keluarga yang struggle menghadapi dinamika internal mereka.

Seringkali kita salah kaprah mengartikan harmonis sebagai ‘tidak pernah ribut’. Padahal, merujuk pada literatur psikologi keluarga, keharmonisan adalah keadaan selaras dan serasi. Keluarga yang harmonis bukanlah yang tanpa masalah, melainkan keluarga yang anggotanya memiliki komitmen, saling menghargai, memiliki komunikasi positif dan mampu mengatasi stres atau krisis bersama-sama. Dalam sebuah opini yang didukung oleh Family Development Theory, keluarga yang sehat adalah keluarga yang mampu beradaptasi. Masalah sering muncul bukan karena hilangnya cinta tetapi karena ketidakmampuan anggota keluarga untuk menjalankan fungsi dan peran barunya saat situasi berubah.

Lantas, bagaimana kita menjaga keharmonisan di tengah dinamika ini? Dan kapan kita membutuhkan peran seorang ahli atau konselor? Masih banyak stigma bahwa pergi ke konselor keluarga menandakan rumah tangga sudah berada di ambang kehancuran. Padahal, konselor justru membantu keluarga memahami dinamika perkembangan tiap anggotanya, membangun kembali kehangatan, dan menciptakan keseimbangan dalam relasi.

Berdasarkan teori Pujosuwarno, Latipun, Satir, serta penelitian Putri (2022) dan Noffiyanti (2020), konselor keluarga memiliki beberapa peran inti yang saling melengkapi. Pertama, konselor berperan sebagai fasilitator komunikasi yang lebih sehat. Banyak konflik keluarga muncul bukan karena masalahnya besar tapi karena cara menyampaikannya tidak tepat. Konselor dapat membantu keluarga menata ulang komunikasi agar pesan tidak lagi tertutup oleh emosi seperti suami dapat memahami istri dan orang tua dapat memahami anak tanpa penghakiman.

Selain itu, konselor dapat membantu keluarga melihat persoalan secara lebih dewasa dan rasional. Konselor dapat membantu keluarga memberikan pemahaman baru untuk bersikap lebih dewasa, bertanggung jawab, dan melakukan self-control (pengendalian diri). Selain itu juga dapat mengarahkan anggota keluarga untuk mengambil keputusan dengan kepala dingin, bukan dibuat saat emosi memuncak seringkali berujung pada penyesalan. 

Jika situasi keluarga sedang memanas, konselor kemudian berperan sebagai penengah profesional. Konselor membantu mengembalikan fokus keluarga pada inti masalah, bukan pada perdebatan yang melebar dan memperburuk hubungan. Selain itu, konselor juga mengajarkan keterampilan pengendalian diri, mulai dari teknik mengelola emosi, manajemen stres, hingga pola komunikasi asertif. Keterampilan inilah yang menjadi pondasi utama karena keluarga yang harmonis bukan yang ‘jarang bertengkar’ tapi yang mampu menyelesaikan konflik tanpa saling melukai. 

Tidak ada keluarga yang sempurna, namun selalu ada keluarga yang mau berusaha. Keluarga harmonis bukan warisan dari keberuntungan, namun hasil dari usaha sadar. Jika jalan terasa buntu, ingatlah bahwa meminta bantuan profesional, seperti konselor, bukanlah tanda kelemahan tetapi bukti komitmen untuk menyelamatkan hubungan. Karena keluarga yang kuat bukan hanya tempat pulang melainkan tempat untuk bertumbuh.

Referensi:

  1. Dewi, R., Azizah, A., Mareska, S., Suriyanti, S., & Hartini, H. (2021). Peran Konseling Keluarga dalam Mengatasi Permasalahan Keluarga. In International Virtual Conference on Islamic Guidance and Counseling, 1(1) , 115-128.
  2. Yanti, N. (2020). Mewujudkan keharmonisan rumah tangga dengan menggunakan konseling keluarga. Al-Ittizaan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 3(1), 8-12.
  3. Putri, J. E., Mudjiran, M., Nirwana, H., & Karneli, Y. (2022). Peranan konselor dalam konseling keluarga untuk meningkatkan keharmonisan keluarga. Journal of Counseling, Education and Society, 3(1), 28.

Biodata Penulis:

Khansaa Aqiilah saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret (UNS).

© Sepenuhnya. All rights reserved.