Oleh Lintang Sabila Ramadhani
Sore itu hujan turun pelan. Aku duduk di kamar sambil scroll-scroll Instagram—ritual standar manusia yang sibuk tapi pura-pura santai. Tiba-tiba muncul foto anak-anak kecil yang lagi main pasir di pantai. Mereka tertawa tanpa beban, seolah dunia cuma berisi ember, pasir, dan air laut. Melihat itu, aku mendadak terdiam. Karena pada saat yang sama, aku lagi dikejar tugas kuliah yang antre seperti diskon Indomaret tanggal muda. Ironis, kan?
Masa Kecil: Fantasi tentang Kebebasan
Dulu waktu kecil, aku sering banget ngomong, “Pengen cepat gede!” Rasanya dewasa itu keren. Bisa pakai sepatu hak tinggi, pergi ke mana-mana sendiri, punya uang sendiri buat beli es krim tanpa izin orang tua. Di mata kita waktu itu, jadi dewasa adalah simbol kebebasan. Kita melihat orang dewasa seperti superhero: bisa keluar malam tanpa ditanya, bisa makan apa aja, bisa tidur jam berapa pun. Pokoknya hidup mereka terlihat penuh kendali.
Kenapa kita ingin cepat gede? Karena masa kecil, meski menyenangkan, tetap penuh batasan. Ada aturan orang tua, PR matematika yang bikin pusing, dan masalah kecil yang waktu itu terasa besar. Jadi wajar kalau dulu kita berpikir bahwa “dewasa” adalah pintu keluar dari semua larangan dan ketidakberdayaan itu.
Dewasa: Ternyata Bebas Itu Ada Biayanya
Sekarang setelah dewasa, terutama setelah masuk dunia perkuliahan, gambaran itu berubah total. Kuliah ternyata bukan seperti film remaja yang penuh romansa ketabrak kakak tingkat. Tidak ada adegan dramatis jatuh cinta yang tiba-tiba. Yang ada justru hubungan paling konsisten sepanjang semester: aku dan tugas.
Tugas kuliah bukan sekadar “jawab soal nomor 1–10”, tapi rangkaian kerja tanpa henti: cari jurnal, analisis, parafrase, cek Turnitin, revisi lagi. Selesai satu, datang dua. Selesai dua, muncul tiga. Seperti iklan skincare: “Tapi tunggu, ada lagi!”
Nggak heran kalau akhirnya muncul rasa capek luar biasa. Menjadi dewasa ternyata bukan soal kebebasan, tapi kemampuan mengelola tekanan—baik dari diri sendiri, lingkungan, maupun ekspektasi orang lain.
Rindu Masa Kecil: Kenapa Bisa Begitu?
Aku pernah baca di Journal of Adolescent Research (2021) bahwa 70% remaja akhir dan mahasiswa awal mengalami future anxiety, kecemasan mengenai masa depan karena tuntutan untuk sukses. Tekanan inilah yang membuat banyak orang tiba-tiba merindukan masa kecil yang dulu terasa biasa saja.
Dan itu benar adanya. Teman-teman seangkatanku sering bilang hal serupa:
- Dulu nangis karena mainan rusak.
- Sekarang nangis karena kehilangan arah hidup.
- Dulu tidur siang itu hukuman.
- Sekarang tidur siang itu bentuk liburan premium.
Makin dewasa, masalah bukan hilang—cuma berubah bentuk. Dulu kita ingin cepat dewasa karena ingin bebas dari aturan. Sekarang kita ingin kembali kecil karena ternyata hidup dewasa justru lebih banyak “aturan” yang tidak terlihat: tagihan, tanggung jawab, pilihan hidup, ekspektasi keluarga, sampai kecemasan masa depan.
Jadi, Apa Kesimpulannya?
Hidup itu seperti roller coaster: naik turun, pusing, tapi tetap bergerak. Mungkin kita tidak benar-benar ingin kembali menjadi anak kecil. Yang kita butuhkan adalah membawa sedikit jiwa “anak kecil” ke hidup kita yang sekarang—main lagi, tertawa lagi, dan istirahat tanpa rasa bersalah.
Jadi kalau kamu juga sedang merasa capek menjadi dewasa, kamu tidak sendirian. Kita semua lagi belajar menyeimbangkan antara serius dan santai, antara tanggung jawab dan bermain. Karena kalau nggak, bisa-bisa aku beneran kabur ke pantai, main pasir, dan pura-pura nggak kenal yang namanya deadline. Hahaha!
Biodata Penulis:
Lintang Sabila Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.