Oleh Helmy Nabil Fawwazi
Di tengah derasnya perkembangan teknologi, artificial intelligence (AI) kini bukan lagi sekadar eksperimen laboratorium. Ia hadir dalam ponsel, ruang kelas, kantor pemerintahan, hingga tempat ibadah. Dari aplikasi penjawab soal, chatbot konsultasi agama, hingga algoritma yang mengatur informasi di media sosial, AI telah menjadi bagian dari denyut kehidupan manusia modern. Pertanyaannya, mampukah nilai-nilai keagamaan yang telah membimbing manusia selama ribuan tahun tetap relevan ketika algoritma mulai memengaruhi cara kita berpikir, bekerja, dan mengambil keputusan?
Keresahan itu wajar muncul. Kita menyaksikan bagaimana AI dapat meniru suara tokoh agama melalui teknologi deepfake, menghasilkan konten yang tampak nyata namun sesat. Kita melihat siswa dan mahasiswa yang mengandalkan chatbot untuk mengerjakan tugas tanpa memahami esensinya. Bahkan sebagian orang mulai bertanya: apakah suatu hari mesin bisa menggantikan peran manusia dalam menentukan benar atau salah. Kita mungkin merasa hidup di persimpangan besar: antara ayat suci yang menawarkan kedalaman moral dan algoritma yang menawarkan kecepatan logika.
Di satu sisi, teknologi berkembang dengan sangat cepat. AI kini mampu mengolah data lebih besar dan lebih cepat daripada kemampuan otak manusia. Namun, laju teknologi tidak selalu diikuti dengan kesiapan etis dan spiritual manusia. Ketika teknologi dapat memengaruhi opini publik, menciptakan realitas palsu, hingga memprediksi perilaku kita, muncul pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya mengendalikan siapa?
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran baru. Tanpa panduan moral, teknologi bisa menjadi alat manipulasi, bukan kemajuan. Tanpa nilai kemanusiaan, algoritma hanya akan bekerja mengikuti pola data tanpa mempertimbangkan hati nurani. Di titik ini, agama memainkan peran penting. Sama seperti sains yang berkembang melalui metode rasional, agama berkembang melalui kedalaman refleksi dan nilai kemanusiaan. Ajaran agama mengajarkan kejujuran, amanah, keadilan, dan tanggung jawab empat nilai yang juga menjadi dasar etika pengembangan teknologi modern.
Ketika sebagian orang melihat teknologi sebagai ancaman bagi spiritualitas, sesungguhnya teknologi adalah alat. Dan seperti alat apa pun, ia bergantung pada penggunanya. Pisau bisa dipakai untuk memasak, tetapi juga bisa melukai. Demikian pula AI: ia dapat mencerdaskan manusia, tetapi juga bisa menyesatkan jika dipakai tanpa moralitas. Agama tidak anti-teknologi. Justru, ia memberi fondasi etis agar teknologi membawa manfaat, bukan kerusakan.
Ada banyak titik temu antara sains modern dan nilai agama. Dalam Islam, misalnya, konsep iqra’ perintah membaca secara simbolik menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan. Dalam tradisi Kristen, pemahaman tentang penciptaan memandang sains sebagai bagian dari upaya memahami kebesaran Tuhan. Tradisi Hindu, Buddha, hingga kepercayaan lokal pun mengajarkan keseimbangan antara pengetahuan dan moralitas. AI hanyalah kelanjutan dari perjalanan panjang manusia dalam mencari pengetahuan. Yang membedakannya adalah skalanya yang kini sangat besar dan kecepatannya yang ekstrem. Di sinilah harmonisasi menjadi penting: sains memberikan kemampuan untuk memahami realitas, sementara agama memberikan bimbingan agar kemampuan itu tidak disalahgunakan.
Contoh Konkret Harmonisasi Sains dan Agama
Harmonisasi ini bahkan sudah terjadi:
1. AI dalam Pendidikan Islam dan Pembelajaran Keagamaan
Pemanfaatan AI dalam pendidikan agama kini semakin luas. Banyak institusi pendidikan Islam mulai menggunakan platform pembelajaran berbasis AI untuk meningkatkan akses dan kualitas belajar. Contohnya, aplikasi tafsir digital dapat membantu pelajar memahami makna ayat secara interaktif, menampilkan penjelasan dari berbagai ulama klasik hingga modern dalam satu klik.
Guru agama juga terbantu dengan adanya fitur otomatisasi analisis kebutuhan belajar peserta didik. AI bisa mendeteksi materi apa yang sulit dipahami siswa, sehingga guru dapat memberikan pendekatan yang lebih personal. Bahkan, beberapa pesantren dan madrasah sudah memanfaatkan teknologi speech-to-text untuk mempermudah hafalan Al-Qur’an dengan feedback otomatis tentang kesalahan tajwid. Semua ini menunjukkan bahwa teknologi tidak menggantikan peran guru agama, tetapi justru memperkuatnya memperluas jangkauan dakwah, memperkaya metode pembelajaran, dan membuat ilmu agama lebih mudah diakses oleh generasi digital.
2. AI untuk Moderasi Beragama Harmoni Sosial
Di ruang digital, konflik berbasis agama sering dipicu oleh ujaran kebencian, fitnah, dan misinformasi. Di sinilah AI berperan penting sebagai penjaga ruang publik. Algoritma mampu mendeteksi kata-kata bernada provokatif, konten radikal, dan pola penyebaran hoaks lebih cepat daripada manusia.
Beberapa platform media sosial menggunakan machine learning untuk mengidentifikasi akun-akun penyebar kebencian atau konten ekstremisme keagamaan. AI juga menganalisis pola interaksi untuk mencegah gelombang polarisasi dalam masyarakat. Selain itu, lembaga keagamaan kini mulai memanfaatkan AI untuk memperkuat moderasi beragama. Misalnya, organisasi Islam besar di Indonesia memakai chatbot edukatif untuk menjawab pertanyaan umat dengan pendekatan moderat dan ramah, sehingga mengurangi risiko seseorang mencari jawaban dari sumber yang ekstrem.
3. AI untuk Kemanusiaan dan Keadilan Sosial
Nilai utama dalam agama apa pun adalah kemaslahatan, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama. AI mampu memperbesar dampak nilai-nilai ini melalui berbagai inovasi bermanfaat. Dalam dunia kesehatan, AI membantu dokter menganalisis penyakit lebih cepat, mendeteksi risiko kanker lebih dini, dan memberikan akses kesehatan murah kepada masyarakat miskin melalui konsultasi digital. Ini selaras dengan semangat agama untuk menjaga kehidupan (hifzh al-nafs).
Dalam bidang kemanusiaan, algoritma digunakan untuk memetakan daerah bencana, memprediksi lokasi banjir, dan mengarahkan bantuan secara tepat sasaran. Banyak lembaga zakat dan filantropi Islam juga mulai memakai AI untuk menilai tingkat kemiskinan dan menyalurkan bantuan secara lebih adil dan efektif. Di ranah pelayanan publik, AI membantu pemerintah mengurangi korupsi melalui sistem audit otomatis yang transparan—suatu langkah yang sangat selaras dengan nilai-nilai keadilan dalam agama. Semua contoh tersebut menunjukkan bahwa AI dan nilai religius bisa bekerja bersama untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pertanyaan sesungguhnya bukan apakah AI akan mengalahkan manusia, tetapi apakah manusia akan tetap memegang nilai-nilai kebaikan ketika memakai AI. Ayat dan algoritma bukan dua kutub yang bertentangan. Ayat memberi cahaya moral, algoritma memberi kecepatan berpikir. Jika keduanya bersinergi, kita dapat membangun peradaban yang lebih manusiawi dan bijaksana. Di era ketika mesin mampu berpikir, manusia harus mampu merasa. Dan di tengah dunia yang dipenuhi algoritma, manusia tetap membutuhkan ayat untuk menuntun jalan.
Biodata Penulis:
Helmy Nabil Fawwazi saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.