Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ketika Harmoni Sosial Tak Disertai Harmoni Alam: Membaca Indonesia melalui Nilai Gus Dur

Belajar dari Gus Dur, harmoni sejati bukan hanya antar manusia, tetapi juga dengan alam. Ayo renungkan kembali makna kemanusiaan yang lebih utuh.

Oleh Anjani Dzikry Ilahana

Kita patut bersyukur. Dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan sosial Indonesia menunjukkan wajah yang lebih teduh. Dialog lintas iman semakin sering dilakukan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) hadir di berbagai daerah, dan konflik antaragama yang dulu mudah memanas kini relatif berkurang. Harmoni sosial, setidaknya dalam relasi antarmanusia, terus diupayakan.

Namun, izinkan saya mengajak pembaca berhenti sejenak dan merenung: apakah harmoni itu sudah benar-benar utuh?

Ketika Harmoni Sosial Tak Disertai Harmoni Alam

Ketika Alam Tak Ikut Didamaikan

Di tengah upaya merawat kerukunan sosial, alam justru sering luput dari perhatian. Banjir, longsor, kekeringan, dan krisis lingkungan hadir silih berganti. Ironisnya, bencana-bencana tersebut kerap dianggap sebagai peristiwa alam semata, seolah manusia tidak turut berperan di dalamnya. Padahal, relasi manusia dan alam tidak bisa dipisahkan. Ketika alam rusak, yang terdampak pertama kali adalah manusia itu sendiri. Harmoni sosial yang kita bangun pun menjadi rapuh jika tidak disertai kesadaran ekologis.

Membaca Kembali Nilai-Nilai Gus Dur

Di titik inilah, nilai-nilai Gus Dur relevan untuk dibaca ulang. Gus Dur tidak pernah memandang kemanusiaan secara sempit. Dalam sembilan nilai utamanya ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal tersimpan pandangan hidup yang menyeluruh.

Nilai-nilai tersebut tidak hanya berbicara tentang relasi antarindividu atau antarkelompok, tetapi juga tentang bagaimana manusia menempatkan diri di tengah kehidupan yang lebih luas, termasuk alam.

Kesederhanaan sebagai Etika Lingkungan

Salah satu nilai penting yang kerap digaungkan Gus Dur adalah kesederhanaan. Hidup secukupnya, tidak berlebihan, dan tidak rakus. Nilai ini terasa semakin relevan di tengah budaya eksploitasi sumber daya alam yang sering mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.Kesederhanaan bukan berarti menolak kemajuan, melainkan mengajarkan batas. Bahwa tidak semua yang bisa dieksploitasi harus dieksploitasi, dan tidak semua kebutuhan harus dipenuhi dengan cara merusak alam.

Keadilan, Kemanusiaan, dan Alam

Nilai kemanusiaan dan keadilan juga patut dibaca dalam konteks ekologis. Ketika hutan digunduli, sungai tercemar, dan ruang hidup masyarakat kecil terampas, ketidakadilan bukan hanya dialami oleh alam, tetapi juga oleh manusia terutama mereka yang paling bergantung pada lingkungan. Bencana ekologis sering kali tidak netral. Ia lebih dulu menyasar kelompok rentan. Karena itu, memperjuangkan keadilan sosial tanpa memperhatikan keadilan ekologis sejatinya adalah perjuangan yang belum tuntas.

Kearifan Lokal yang Terpinggirkan

Gus Dur juga menaruh perhatian besar pada kearifan lokal. Banyak tradisi Nusantara mengajarkan cara hidup selaras dengan alam: menjaga hutan, merawat sumber air, dan menghormati siklus alam. Sayangnya, kearifan ini kerap tersingkir oleh logika modernitas yang serba cepat dan eksploitatif.Padahal, kearifan lokal bukan sisa masa lalu, melainkan sumber kebijaksanaan yang relevan untuk menjawab krisis hari ini.

Menuju Harmoni yang Lebih Utuh

Harmoni sejati, jika dibaca melalui nilai-nilai Gus Dur, bukan hanya tentang damainya relasi antarumat beragama. Harmoni juga berarti adanya kesadaran kolektif untuk hidup selaras dengan alam. Tanpa itu, kerukunan sosial mudah runtuh, sebab krisis lingkungan sering melahirkan konflik baru perebutan sumber daya, ketimpangan, dan penderitaan sosial. Barangkali, selama ini kita terlalu fokus merawat harmoni dengan sesama manusia, tetapi lupa mendamaikan diri dengan alam.

Belajar Kembali dari Gus Dur

Tulisan ini bukanlah jawaban final atas persoalan bangsa. Namun, ia mengajak kita merenung bersama: jangan-jangan harmoni yang kita bangun masih timpang. Kita berdamai dengan manusia, tetapi abai terhadap alam.

Belajar dari Gus Dur berarti belajar melihat kehidupan secara utuh. Bahwa toleransi, kemanusiaan, dan keadilan tidak boleh berhenti pada relasi sosial semata, melainkan juga harus hadir dalam cara kita memperlakukan alam. Sebab Indonesia yang benar-benar harmonis bukan hanya yang rukun antarumat, tetapi juga yang mampu hidup selaras dengan lingkungannya.

Biodata Penulis:

Anjani Dzikry Ilahana, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Agama Islam, di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.