Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ketika Ibadah Hanya Menjadi Formalitas

Ketika ibadah hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, apakah nilai spiritualnya masih tersisa?

Oleh Gilga Jane Ady Puterisia

Di banyak sekolah, terutama yang menempatkan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas, kegiatan keagamaan seperti salat berjamaah sering dijadikan program rutin harian. Program ini tentu memiliki niat dan tujuan yang sangat mulia yaitu membangun kedisiplinan, menanamkan nilai religius, dan menciptakan suasana sekolah yang bernuansa spiritual. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu berjalan indah seperti yang diharapkan.

Selama melakukan kegiatan MBKM Asistensi Mengajar di salah satu SMP di Kota Surakarta, saya melihat kenyataan yang cukup menarik perhatian sekaligus memprihatinkan. Ibadah yang seharusnya menjadi kebutuhan spiritual justru tampak berubah menjadi sekadar kewajiban formal. Banyak siswa melaksanakannya bukan karena merasa perlu, tetapi lebih karena merasa harus. Dan ketika seseorang melakukan sesuatu hanya karena “harus”, maka makna itu perlahan hilang.

Ketika Ibadah Hanya Menjadi Formalitas

Salah satu fenomena yang paling sering saya lihat adalah siswa yang menghindari salat berjamaah dengan berbagai cara. Ada siswi yang mengaku sedang haid padahal tidak, dan ketika diminta klarifikasi oleh guru, mereka tampak gugup dan salah tingkah. Ada siswa laki-laki yang memilih bersembunyi di belakang kelas, pojok kantin, atau kamar mandi untuk menghindari salat di masjid. Beberapa siswa memang berada di area ibadah, tetapi tidak ikut salat. Mereka duduk-duduk, bercanda, atau mengobrol seolah masjid adalah ruang bermain. Ada juga yang ikut salat, tetapi gerakannya sangat cepat, tidak fokus, dan bahkan saling menertawakan di tengah ibadah. Sekilas terlihat seperti tingkah lucu anak sekolah. Tetapi jika diperhatikan lebih dalam, ini adalah sinyal bahwa proses pembinaan spiritual belum menyentuh aspek yang paling penting: kesadaran.

Banyak kegiatan keagamaan di sekolah lebih menonjolkan aspek aturan daripada pemahaman. Jadwal dibuat, kewajiban ditetapkan, absensi diberlakukan tetapi jarang ada ruang untuk menjelaskan mengapa ibadah itu penting dan bagaimana ibadah bisa menjadi pengalaman yang menenangkan. Ketika aturan tidak dibarengi makna, murid hanya menjalankan ibadah sebagai formalitas. Mereka tidak melihat ibadah sebagai kebutuhan jiwa, melainkan hanya salah satu tugas yang harus dituntaskan seperti mengisi presensi atau membersihkan kelas. Di sinilah akar persoalannya: pembinaan spiritual hanya tersampaikan secara prosedural, bukan emosional maupun maknawi.

Saya menemukan bahwa beberapa program spiritual sebenarnya pernah dirancang cukup bagus. Misalnya, adanya kegiatan khusus untuk siswi yang sedang berhalangan salat. Semestinya ini menjadi ruang alternatif bagi siswi untuk tetap mendapatkan pembinaan, seperti kajian ringan atau diskusi keislaman. Sayangnya, program tersebut tidak berlanjut karena guru yang seharusnya bertugas tidak hadir secara konsisten. Alhasil, kegiatan berhenti di tengah jalan dan siswi yang berhalangan tidak punya aktivitas pendamping. Ketiadaan alternatif ini membuat mereka lebih mudah menggunakan alasan tersebut untuk menghindari ibadah bahkan sampai membuat alasan yang tidak benar. Masalah seperti ini menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan pelaksana program berdampak langsung pada motivasi siswa dalam menjalani pembinaan religius.

Jika ingin jujur, menyalahkan siswa sepenuhnya tidaklah adil. Mereka adalah remaja awal yang masih berproses. Emosi mereka belum stabil, rasa ingin bebasnya tinggi, dan pengaruh teman sebaya sangat kuat. Bagi mereka, bermain atau mengobrol jauh lebih menarik dibandingkan mengikuti ibadah yang tidak mereka pahami maknanya.

Karena itu, pembinaan spiritual tidak cukup hanya disampaikan lewat aturan yang ketat atau keberadaan guru pengawas. Yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan yang mampu menyentuh hati mereka. Siswa perlu diajak berdialog, bukan hanya diarahkan. Mereka perlu diberikan contoh nyata, bukan sekadar instruksi. Mereka perlu diperlihatkan keindahan ibadah, bukan hanya ditakut-takuti dengan konsekuensinya.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Berikut beberapa opini pribadi saya mengenai langkah-langkah yang sebenarnya cukup sederhana tetapi bisa membawa perubahan besar:

1. Hadirkan Makna di Balik Ritual

Jelaskan pada siswa bahwa salat bukan sekadar kewajiban, tetapi tempat untuk menenangkan pikiran, merapikan hati, dan mengatur ulang energi setelah jam pelajaran yang padat.

2. Bangun Suasana Ibadah yang Hangat

Ibadah tidak harus kaku. Guru atau pendamping bisa memberikan kultum singkat yang ringan, relevan, dan mudah dicerna agar siswa merasa terhubung dengan kegiatan tersebut.

3. Konsistensi Program Lebih Penting daripada Banyaknya Program

Lebih baik ada satu kegiatan religius yang berjalan konsisten daripada lima kegiatan yang hanya muncul di papan pengumuman.

4. Guru Harus Hadir sebagai Teladan, bukan Sekadar Pengawas

Ketika siswa melihat orang dewasa melaksanakan ibadah dengan tenang dan bersungguh-sungguh, mereka akan menangkap pesan kuat tanpa perlu diucapkan.

5. Ciptakan Alternatif Kegiatan yang Positif

Untuk siswa yang benar-benar berhalangan, sediakan aktivitas yang menyenangkan namun bernilai, seperti membaca kisah nabi, mendengarkan kajian singkat, atau membuat refleksi tulisan.

Permasalahan spiritual di sekolah tidak akan selesai dengan menambah aturan atau memperketat pengawasan. Solusinya justru ada pada upaya menjadikan ibadah sesuatu yang dirasakan, bukan sekadar dilakukan. Ketika siswa memahami bahwa ibadah bukan beban, melainkan kebutuhan hati, maka mereka akan melaksanakannya dengan kesadaran, bukan keterpaksaan.

Tugas kita sebagai orang dewasa bukan hanya mengarahkan, tetapi menuntun. Bukan hanya mengawasi, tetapi memberi teladan. Bukan hanya membuat jadwal ibadah, tetapi menanamkan nilai ibadah. Jika suasana itu berhasil dibangun, maka kita bukan hanya mendidik siswa untuk disiplin menjalankan ritual, tetapi juga membentuk karakter spiritual yang akan mereka bawa hingga dewasa.

Biodata Penulis:

Gilga Jane Ady Puterisia saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.