Ketika Keluarga Membutuhkan Pendengar: Peran Konselor dalam Dinamika Kehidupan Keluarga

Konflik keluarga sering disalahpahami sebagai kegagalan. Yuk pahami peran konselor dalam mendampingi keluarga melewati setiap tahap perkembangan.

Oleh Yohanna Angelika Putri Kienasih

Keluarga sering dipandang sebagai tempat paling aman untuk bertumbuh. Namun, di balik dinding rumah, tidak sedikit keluarga yang menyimpan konflik, jarak emosional, dan kelelahan yang jarang dibicarakan. Perubahan peran, tuntutan ekonomi, hingga perbedaan generasi membuat dinamika keluarga semakin kompleks. Dalam situasi seperti inilah, peran konselor dalam layanan bimbingan dan konseling keluarga menjadi semakin penting.

Ketika Keluarga Membutuhkan Pendengar

Teori perkembangan keluarga yang dikemukakan oleh Duvall menjelaskan bahwa setiap keluarga akan melalui tahapan-tahapan perkembangan tertentu, mulai dari pasangan baru menikah hingga keluarga dengan anak dewasa. Setiap tahap memiliki tugas perkembangan yang berbeda, dan kegagalan menyesuaikan diri sering kali memicu konflik. Sayangnya, konflik ini kerap dipersepsikan sebagai kegagalan pribadi, bukan sebagai bagian alami dari proses perkembangan keluarga. Hal ini saya temui pada kasus sebuah keluarga dengan anak remaja kelas X SMA. Orang tua mengeluh anak yang dianggap semakin tertutup, mudah marah, dan sering membantah. Di sisi lain, sang anak merasa tidak pernah didengarkan dan selalu dibandingkan dengan kakaknya. Konflik ini semakin memanas hingga berdampak pada prestasi akademik dan kesehatan mental anak. Setelah mengikuti konseling keluarga, terungkap bahwa orangtua kesulitan menyesuaikan pola asuh dari anak-anak ke remaja—sebuah tugas perkembangan yang menurut Duvall memang sering menimbulkan ketegangan.

Dalam konseling keluarga, konselor tidak memihak siapapun. Konselor membantu orang tua memahami kebutuhan perkembangan remaja akan kemandirian dan identitas diri, sekaligus membantu anak memahami kekhawatiran orangtua. Perlahan, pola komunikasi yang sebelumnya penuh perintah dan kritik berubah menjadi dialog yang lebih terbuka. Konflik tidak hilang seketika, tetapi keluarga mulai memiliki cara yang lebih sehat untuk menghadapinya.

Peran konselor tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga preventif dan pengembangan. Konselor membantu keluarga membangun keterampilan komunikasi, empati, dan pemecahan masalah agar mampu menghadapi setiap tahap perkembangan keluarga dengan lebih adaptif. Konseling keluarga menjadi ruang aman untuk berhenti sejenak, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memahami tanpa menyalahkan. Pada akhirnya, keluarga yang sehat bukanlah keluarga tanpa konflik, melainkan keluarga yang mampu bertumbuh bersama di Tengah perbedaan. Konselor hadir sebagai pendamping dalam proses tersebut—membantu keluarga memahami bahwa setiap fase kehidupan membawa tantangan, dan setiap tantangan dapat dihadapi bersama ketika ada ruang untuk saling mendengar dan belajar.

Biodata Penulis:

Yohanna Angelika Putri Kienasih saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

© Sepenuhnya. All rights reserved.