Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ketika Mood-mu Ditentukan Musik Romance

Musik romance tak selalu soal jatuh cinta. Yuk baca bagaimana lagu-lagu manis bisa jadi mood booster di tengah rutinitas dan tekanan hidup.

Oleh Khansa Almasatul Jannah

Saya selalu suka mendengarkan musik di hampir semua situasi. Di jalan saya pakai earphone. Di kamar saya pakai speaker kecil. Di kampus saya kadang ikut menyenandungkan lirik tanpa sadar. Teman saya sering menatap dengan ekspresi bingung. Mereka bilang saya seperti karakter film yang hidupnya pakai latar backsound. Saya tidak membantah. Musik memang seperti detak kecil yang mengatur ritme hidup saya.

Ketika Mood-mu Ditentukan Musik Romance

Musik romance adalah penyebab utamanya. Genre ini seperti mood booster yang bekerja cepat. Liriknya lembut. Nadanya hangat. Beat-nya pas di telinga. Ada sesuatu yang membuat saya merasa lebih hidup. Kadang saya mendadak bersemangat padahal mood sebelumnya datar saja. Teman saya sering berkata, “Dengerin musik yuk.” Ajakan itu sederhana. Namun efeknya signifikan. Mood langsung naik. Kepala lebih ringan. Dunia terasa lebih ramah.

Saya pernah mengalami momen lucu soal ini. Saya sedang baik-baik saja tanpa perasaan spesial pada siapa pun. Namun begitu mendengar musik romance, saya merasa seperti masuk “butterfly era”. Perut terasa geli tanpa alasan. Pikiran melayang seolah sedang kasmaran. Padahal faktanya tidak ada siapa pun yang membuat saya jatuh hati. Efeknya semata dari musik. Saya tertawa sendiri memikirkan betapa kuatnya sugesti sebuah lagu.

Karena itu, mendengarkan musik romance tidak selalu berarti seseorang sedang jatuh cinta. Kadang hal itu dilakukan hanya agar tetap semangat menjalani hidup. Saya butuh sesuatu yang membuat pikiran tetap waras. Tugas kuliah sering menumpuk tanpa kompromi. Deadline datang bertubi-tubi. Kepala rasanya penuh tekanan. Musik romance memberi ruang bernapas. Lagu-lagunya membawa saya kembali ke titik yang lebih tenang.

Ada hari ketika saya sedang kewalahan dengan aktivitas kampus. Namun mood saya tetap baik karena baru saja mendengarkan playlist romance. Saya merasa ringan seharian. Bahkan saya bisa tersenyum saat melihat deretan tugas di catatan saya. Rasanya seperti ada energi yang bertahan lama. Seakan nada-nada yang manis bekerja sebagai stabilizer emosi. Saya berpikir, “Ah, masih bisa happy walau tugas ini numpuk wkwkw.”

Fenomena perubahan mood akibat musik bukan hal baru. Berbagai studi psikologi sudah membahasnya. Salah satu riset dari University of Missouri menyebut bahwa musik berirama ceria dapat meningkatkan suasana hati dalam beberapa menit. Penelitian itu menunjukkan bahwa otak merespons musik dengan melepas dopamin. Hormon ini sering disebut “molekul kebahagiaan”. Artinya, perubahan mood yang saya alami bukan hal aneh. Otak memang bekerja sesuai rangsangan suara.

Saya juga pernah membaca artikel musisi lokal yang mengatakan bahwa musik romance punya kekuatan emosional yang stabil. Lagu cinta dianggap paling dekat dengan pengalaman manusia sehari-hari. Ada lirik tentang harapan. Ada kata tentang kehilangan. Ada nada yang membawa kenangan lama. Semua itu membuat genre ini terasa relevan. Tidak heran banyak orang memakainya sebagai dukungan mental kecil dalam rutinitas.

Jika diperhatikan, masyarakat kita memang dekat dengan musik. Dari warung nasi sampai angkutan kota selalu ada lagu yang mengalun. Orang menyetel musik saat menyapu rumah. Ada juga yang memutarnya saat mandi. Musik bukan sekadar hiburan. Ia adalah cara mengatur ritme hidup. Termasuk bagi saya. Musik romance menjadi penanda rasa dan suasana. Kadang jadi alarm untuk bangun. Kadang jadi selimut untuk pulang ke diri sendiri.

Saya pernah melakukan eksperimen kecil. Selama beberapa hari saya tahan diri untuk tidak mendengarkan musik romance. Saya hanya memutar lagu-lagu energik polos tanpa lirik. Hasilnya terasa aneh. Saya tidak menemukan momen “spark” yang biasanya muncul. Saya tetap produktif, tetapi emosinya datar. Tidak ada bagian yang membuat saya berhenti sejenak dan merasa hangat. Dari situ saya sadar bahwa musik romance tidak hanya menghibur. Ia menjadi regulator emosi.

Beberapa teman saya juga punya pengalaman mirip. Ada yang memutar lagu romance saat mengerjakan laporan. Ada juga yang mendengarkannya sebelum tidur agar pikiran lebih tenang. Mereka bilang musik romance membantu menjaga kewarasan. Saya pikir istilah “kewarasan” di sini bukan sekadar metafora. Musik memberikan jeda dari tekanan hidup. Kita seperti diberi ruang kecil untuk menyatukan diri.

Namun saya juga tidak menutup mata. Ada orang yang menganggap musik romance terlalu mellow. Mereka merasa genre ini terlalu menguras perasaan. Saya menghargai pendapat itu. Musik memang punya selera. Setiap orang punya preferensi unik. Tapi bagi saya, mellow bukan berarti lemah. Kadang justru menjadi cara paling efektif untuk mengenal diri sendiri. Lirik-lirik lembut membantu saya berdialog dengan perasaan.

Pada akhirnya, musik romance memberi bentuk pada hari-hari saya. Ia menetapkan warna pada emosi. Kadang memberi semangat. Kadang memberi hiburan. Kadang memberi ketenangan halus. Mood saya banyak ditentukan olehnya. Saya tidak merasa itu sebagai kelemahan. Musik adalah bagian dari cara saya bertahan hidup. Jika ada orang yang memilih meditasi atau journaling, saya memilih lagu cinta.

Selama musik bisa menjaga saya tetap waras, saya tidak keberatan hidup dengan mood yang dipandu nada-nada manis. Toh hidup sudah cukup melelahkan. Kalau ada hal sederhana yang bisa membuat hari lebih ringan, mengapa tidak? Musik romance memang tidak menyelesaikan masalah. Tapi ia selalu memberi ruang untuk tersenyum, bahkan pada hari yang paling padat sekalipun.

Biodata Penulis:

Khansa Almasatul Jannah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.