Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ketika Otak Lelah dan Hati Ngarep Didengar: Fenomena Obrolan Larut Malam

Malam selalu punya caranya sendiri untuk membuat obrolan jadi lucu, absurd, tapi juga menyentuh hati. Yuk, jelajahi serunya!

Oleh Rieska Cahya Ramadhani

Ada satu kebiasaan malam hari yang selalu berhasil membuat saya mempertanyakan kewarasan sendiri: obrolan yang muncul lewat pukul sepuluh malam. Begitu jam digital di pojok layar HP menunjukkan angka 22.00, topik yang kami bicarakan di chat grup langsung berubah arah. Jika siang kami masih membahas tugas, makan apa, atau drama hidup standar, maka lewat pukul sepuluh, percakapan berubah menjadi festival absurd yang bahkan bapak-bapak di pos ronda mungkin tak sanggup menandinginya.

Biasanya obrolannya berawal dari hal sederhana, seperti hal-hal yang menjengkelkan hari ini, dosen yang tiba-tiba mengganti jadwal kelas, dan keluhan tentang tugas yang datang berlalu lalang. Lalu, seperti kereta yang relnya hilang separuh jalan, topik melompat ke mana-mana tanpa peringatan. Baru saja membahas kelas yang membosankan, tau-tau sudah masuk ke wilayah perdebatan yang bahkan Wikipedia pun mungkin enggan menjawab. Itulah jam ketika percakapan berubah menjadi lintasan liar bagi pikiran yang mulai goyah. Mungkin ini efek samping dari otak yang menolak tidur, tapi juga tidak mau berpikir jernih.

Ketika Otak Lelah dan Hati Ngarep Didengar

Topik yang paling sering muncul adalah nostalgia masa SMA. Entah kenapa, pukul sepuluh malam memang punya tombol khusus yang bisa memanggil kenangan lama. “Ingat nggak guru kita yang suka tiba-tiba ngadain ulangan?” tanya salah satu teman. Lalu obrolan itu mengalir deras. Kami mengenang momen lucu saat salah satu teman tanpa sengaja merusakkan keran depan kelas. Kami membahas latihan pentas yang penuh suara fals dan langkah kaki tak sinkron. Kami tertawa lagi mengenang kerja kelompok membuat makanan yang hasilnya entah mirip pancake, entah mirip upaya gagal menciptakan batu bata organik. Semua kenangan itu muncul lagi, bukan karena penting, tapi karena tubuh sudah terlalu lelah untuk menyaring apa yang seharusnya tinggal dalam arsip otak bagian museum. Malam, rupanya, membuka pintu-pintu yang siang hari tertutup rapat.

Setelah nostalgia datang, obrolan mulai masuk ke fase absurd tingkat lanjut. Ini momen ketika pikiran-pikiran aneh bermunculan seperti iklan pop-up di situs bajakan. Ada yang bertanya, “Kenapa sih telur disebut telur? Dari mana asal namanya?” Lalu ada yang tiba-tiba bertanya, “Kalo di luar alam semesta ada kehidupan lain, mereka makan apa ya?” Pertanyaan itu dibahas dengan serius padahal kami bahkan tidak tahu cara kerja galaksi.

Kadang saya sendiri ikut terpancing. Saya pernah bertanya, “Kalau kita menumpuk koin 500 perak, berapa banyak yang dibutuhkan untuk sampai ke bulan?” Padahal saya hanya teringat soal Olimpiade Astronomi yang pernah saya baca bertahun-tahun lalu. Tidak ada hubungan, tetapi malam membuat semuanya terasa filosofis. Ada juga teman yang tiba-tiba berimajinasi hidup di Mars. “Kayaknya kalau tinggal di Mars, kita nggak bakal telat kuliah karena jamnya beda,” katanya. Padahal jelas-jelas kalau hidup di Mars, masalah kami bukan telat kuliah, tapi mati kedinginan.

Namun semua keabsurdan itu jarang bertahan lama. Aneh memang, tapi justru percakapan yang dimulai dari hal ngawur sering meluncur perlahan menjadi sesi deep talk. Tanpa aba-aba, suasana berubah hening. Suara ketikan jadi lebih lambat. Nada bercanda memudar seperti baterai HP yang tinggal 5%. Topik berubah menjadi, “Nanti kalau lulus, aku mau jadi apa?” atau “Kalau aku gagal, orang tua kecewa nggak ya?” Pertanyaan-pertanyaan yang tidak kami sentuh siang hari, justru muncul pada jam ketika logika sedang setengah pingsan.

Kami mulai membahas beban akademik yang menggantung seperti awan mendung. Tugas yang tidak selesai, tekanan nilai, dan rasa takut tertinggal dari teman lain. Ada juga yang mengaku sedang homesick. Rindu suasana rumah, rindu masakan ibu, rindu tempat tidur lama yang kadang berdecit tapi tetap nyaman. Malam membuat kerinduan muncul seperti aroma kopi yang entah dari mana.

Kalau dipikir-pikir, semua ini masuk akal. Penelitian psikologi menunjukkan bahwa ketika tubuh lelah, fungsi kontrol kognitif akan melemah. Artinya, pikiran kita lebih spontan, lebih jujur, dan lebih tidak teratur. Inilah alasan mengapa pukul sepuluh malam ke atas sering menjadi waktu paling jujur, paling rawan, tetapi juga paling hangat. Karena ketika otak mulai pudar, hati justru menemukan ruang untuk berbicara. Kami tidak berpura-pura kuat. Tidak berpura-pura baik-baik saja. Tidak berpura-pura punya semua jawaban hidup. Obrolan larut malam mengizinkan kami menjadi manusia biasa yang sering cemas, rindu, lelah, dan penuh harapan kecil yang jarang kami akui.

Ritual ini terus berulang. Meski kami tahu besok akan bangun dengan mata bengkak dan kepala berat, kami tetap melakukannya. Ada sesuatu yang hangat di dalam percakapan itu. Sesuatu yang membuat kami merasa didengar dan tidak sendirian. Mungkin, itulah fungsi asli obrolan larut malam. Ia lahir dari otak yang lelah, tapi tumbuh karena hati ingin didengar. Dan tanpa kami sadari, justru di jam-jam itulah kami merasa paling hidup.

Biodata Penulis:

Rieska Cahya Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret yang sedang berusaha melawan homesick.

© Sepenuhnya. All rights reserved.