Oleh Pramuda Wardani Anindyawati
Di lingkungan sekolah, kita sering menaruh perhatian besar pada nilai akademik, kedisiplinan, dan prestasi. Namun ada satu aspek yang kerap luput dari pengamatan, yaitu kondisi spiritual para remaja yang sebenarnya sedang berada dalam masa paling rentan dalam hidupnya. Di usia inilah mereka mulai mempertanyakan banyak hal tentang identitas diri, masa depan, dan salah satunya tentang hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam beberapa kasus, kita menemukan remaja yang tiba-tiba mengalami penurunan motivasi ibadah, menarik diri dari kegiatan keagamaan, atau bahkan secara pelan mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap Tuhan. Fenomena ini bukan sekadar masalah kedisiplinan beribadah, tetapi tanda adanya pergulatan batin yang tidak sederhana.
Saya pernah mendampingi seorang siswa yang mengalami hal serupa. Ia bercerita bahwa dirinya merasa hidupnya penuh tekanan. Konflik di rumah tidak pernah mereda, tuntutan akademik menekan dari berbagai sisi, sementara dukungan emosional yang ia harapkan justru tidak ia temukan. Dalam keadaan seperti itu, ia mencoba tetap beribadah dan berdoa, berharap mendapatkan ketenangan. Namun ketika situasinya tidak kunjung membaik, ia mulai mempertanyakan apakah Tuhan benar-benar mendengarkan. Rasa kecewa itu berkembang menjadi keengganan untuk beribadah, bukan karena ia ingin menjauh, tetapi karena ibadah yang biasanya memberi kedamaian kini terasa hampa. Pada titik inilah ia merasa tidak layak untuk mengungkapkan pergulatan tersebut kepada siapa pun, karena takut dianggap kurang iman atau bahkan berdosa.
Pengalaman seperti ini menunjukkan bahwa remaja membutuhkan ruang yang aman untuk berbicara jujur tentang hal-hal yang mereka rasakan, termasuk tentang keresahan spiritual. Ketika seorang remaja berkata bahwa ia kecewa kepada Tuhan, tanggapan yang ia butuhkan bukanlah penghakiman atau ceramah panjang, tetapi pendengaran yang tulus dan sikap yang memahami. Mengakui kekecewaan bukan berarti ia telah meninggalkan nilai-nilai agama; justru itulah proses di mana ia sedang berusaha memahami makna hidup dengan cara yang lebih dewasa. Kita perlu hadir bukan sebagai hakim yang mengoreksi kesalahannya, tetapi sebagai pendamping yang membantu menata kembali sudut pandangnya terhadap kehidupan dan spiritualitas.
Dalam banyak kasus, proses pendampingan yang dilakukan dengan empati dapat membantu remaja memulihkan hubungan spiritualnya secara perlahan. Ketika mereka merasa diterima dan tidak disalahkan atas pergumulan batinnya, mereka lebih mudah kembali melihat ibadah sebagai ruang ketenangan, bukan sebagai kewajiban yang menekan. Perubahan ini tidak selalu terjadi secara drastis. Sering kali bentuknya kecil, seperti mulai berdoa kembali ketika hati sedang gelisah, atau mencoba meluangkan waktu untuk merenung. Namun langkah kecil itu penting karena menandai munculnya kembali harapan dalam diri mereka.
Melihat fenomena tersebut, penting bagi sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk memberi perhatian yang lebih besar terhadap kesehatan spiritual remaja. Suasana rumah yang damai, komunikasi yang hangat, dan penerimaan terhadap perasaan anak dapat menjadi fondasi penting bagi kestabilan emosional dan spiritual mereka. Guru BK dan tenaga pendidik pun memiliki peran besar dalam memberikan ruang aman bagi siswa untuk bercerita, tanpa takut mendapatkan stigma. Pendampingan yang konsisten dapat membantu remaja kembali menemukan makna di balik pengalaman hidup yang sulit, termasuk dalam hubungannya dengan Tuhan.
Pada akhirnya, pergulatan spiritual pada remaja bukanlah tanda kemunduran iman, tetapi bagian dari perjalanan mereka menuju kedewasaan. Mereka sedang belajar memahami hidup, mencari pegangan yang kuat, dan mencoba menjelaskan hal-hal yang tidak selalu mudah diterima. Tugas kita adalah memastikan bahwa dalam perjalanan itu, mereka tidak merasa berjalan sendirian. Dengan pendampingan yang hangat, terbuka, dan penuh empati, mereka dapat bangkit kembali, menemukan ketenangan, dan membangun hubungan spiritual yang lebih matang daripada sebelumnya.
Biodata Penulis:
Pramuda Wardani Anindyawati saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Bimbingan dan Konseling.