Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Keunikan Sate Ambal yang Membuat Saya Rindu dengan Kebumen

Yuk cicipi Sate Ambal, kuliner khas Kebumen dengan saus tempe khas dan rasa gurih manis yang memikat. Rasakan nostalgia dan kehangatan setiap tusuknya

Oleh Rieska Cahya Ramadhani

Baru-baru ini saya merantau dari Kebumen. Kota kecil di pesisir selatan Jawa Tengah itu kini hanya tinggal dalam ingatan. Kadang, saat malam sunyi di kota orang, saya teringat aroma sate yang mengepul di pinggir jalan Ambal. Aroma itu menembus jarak dan waktu, membawa saya pulang lewat kenangan. Namanya Sate Ambal, kuliner khas yang selalu berhasil membuat saya rindu rumah.

Dulu saya mengira semua sate itu sama. Daging ayam dipotong kecil, dibakar di atas bara, lalu disiram bumbu kacang. Tapi ternyata, sate Ambal punya keunikan yang tidak bisa dibandingkan dengan sate lain. Ia tidak memakai bumbu kacang seperti sate Madura. Ia juga tidak disiram kuah kental seperti sate Padang. Sate Ambal punya rahasia sendiri yaitu sausnya yang terbuat dari tempe rebus yang dihaluskan dan dicampur bumbu khas Ambal.

Sate Ambal

Rasanya? Empuk, gurih, dan sedikit manis. Saat digigit, daging ayamnya terasa juicy karena proses perendaman bumbu sebelum dibakar. Saus tempenya lembut, pedasnya pas, dan aromanya kuat. Saya pernah membaca di laman Jatengprov.go.id bahwa resep Sate Ambal sudah dikenal sejak abad ke-19. Dulu, kuliner ini menjadi hidangan khas para bangsawan di Kebumen sebelum kemudian menyebar ke masyarakat umum. Hingga kini, nama Ambal melekat erat dengan identitas daerah itu.

Saya masih ingat pengalaman pertama saya menikmati sate Ambal bersama keluarga. Kami datang ke sebuah warung sederhana di pinggir jalan. Meja dan kursinya dari kayu, dengan kipas angin yang berputar lambat di langit-langit. Suasana rumah makan itu seperti rumah nenek saya di desa. Hangat dan menenangkan. Bau arang bercampur bumbu tempe memenuhi udara. Saat sate datang, asapnya masih menari di atas piring. Rasanya luar biasa.

Setiap gigitan membawa saya pada kenangan masa kecil. Saya teringat masa libur lebaran, ketika keluarga besar berkumpul di Kebumen. Setelah hari raya Idul Fitri usai, kami sekeluarga beramai-ramai pergi Pantai Ambal dan membeli sate Ambal di warung langganan ketika puas bermain di pantai. Saya yang masih kecil waktu itu selalu tak sabar menunggu. Kadang, karena terlalu semangat, sausnya tumpah ke baju baru. Ibu marah, tapi saya tetap tersenyum. Dalam setiap tusuk sate itu, ada tawa dan kebersamaan yang tidak bisa diganti dengan apa pun.

Kini, semua itu terasa jauh. Saya hidup di kota lain yang serba cepat dan sibuk. Di sini, banyak sate dijual, tapi rasanya tak pernah sama. Pernah saya mencoba membuat sendiri. Saya rebus tempe, haluskan, tambahkan bawang putih dan cabai, lalu campur dengan gula jawa. Namun, rasanya tetap berbeda. Mungkin karena yang hilang bukan sekadar bumbu, tapi juga suasana. Seperti kata seorang teman, “Rasa rindu tidak bisa dimasak di dapur.”

Keunikan sate Ambal bukan hanya pada bahan dan rasa. Tapi juga pada cerita dan budaya di baliknya. Menurut Dinas Pariwisata Kebumen (2022), sate Ambal kini menjadi ikon wisata kuliner daerah. Banyak wisatawan datang hanya untuk mencicipinya langsung di tempat asalnya. Hal ini menunjukkan bahwa kuliner tradisional bisa menjadi daya tarik yang kuat jika dijaga dan diperkenalkan dengan baik.

Saya percaya, menjaga kuliner lokal berarti menjaga identitas daerah. Ketika sebuah resep diwariskan dari generasi ke generasi, sesungguhnya yang diwariskan bukan hanya rasa, tapi juga ingatan. Setiap bumbu, setiap cara memasak, adalah jejak budaya yang mencerminkan karakter masyarakatnya. Sate Ambal, dengan kesederhanaannya, mengajarkan bahwa keistimewaan tidak selalu datang dari bahan mahal, tapi dari cara kita menghargai yang dekat dan asli.

Dalam buku Kuliner Tradisional Jawa Tengah (Balai Bahasa, 2021), disebutkan bahwa banyak makanan khas daerah mulai terancam hilang karena perubahan gaya hidup masyarakat. Anak muda lebih mengenal makanan cepat saji daripada resep keluarga. Di sinilah peran kita, para perantau, untuk tetap mengenang dan mengenalkan kuliner daerah kita masing-masing.

Bagi saya, setiap kali pulang ke Kebumen, hal pertama yang saya cari bukan oleh-oleh atau tempat wisata baru, melainkan sate Ambal. Saya akan duduk di bangku kayu, menatap bara api yang menyala, dan menunggu tusuk demi tusuk matang di panggangan. Saat itu saya tahu, saya sedang pulang namun bukan hanya ke kota kelahiran, tapi juga ke potongan masa lalu yang selalu hidup dalam rasa.

Sate Ambal mengingatkan saya bahwa rindu bisa sederhana. Ia bisa hadir dalam aroma bumbu tempe yang menyapa hidung. Dalam rasa pedas manis yang menempel di lidah. Dalam senyum ibu penjual yang tak pernah berubah sejak dulu.

Kini setiap kali saya mendengar kata Kebumen, yang terbayang bukan gedung, bukan jalan, tapi bara api dan sate yang dibalik perlahan. Mungkin benar, rumah bukan hanya tempat, tapi juga rasa yang menunggu untuk dicicipi lagi. Bagi saya, rasa itu bernama Sate Ambal.

Biodata Penulis:

Rieska Cahya Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.