Oleh Muhammad Faiq Rizqi
Di tengah kesibukan hidup modern, manusia seolah hidup dalam perlombaan tanpa garis akhir. Setiap hari dipenuhi target, jadwal, ekspektasi, dan tuntutan yang sering kali tidak pernah berhenti. Banyak orang terjebak dalam pola “mengejar”, mengejar uang, jabatan, pencitraan, validasi media sosial, hingga standar kesuksesan yang tidak pernah mereka tetapkan sendiri. Ironisnya, semakin keras seseorang mengejar, semakin jauh ia dari dirinya sendiri. Pada titik inilah muncul fenomena “lupa merasa,” yaitu keadaan ketika seseorang kehilangan sensitivitas terhadap emosinya, tidak mengenali batas dirinya, dan menjalani hari-hari dengan mode bertahan hidup.
Salah satu faktor terbesar dari krisis ini adalah tekanan sosial yang tumbuh dari budaya produktivitas. Saat ini, manusia hidup di zaman di mana berhenti dianggap sebagai kemunduran, dan istirahat dipandang sebagai kelemahan. Banyak orang merasa bersalah ketika tidak bekerja, tidak mencapai sesuatu, atau ketika memilih untuk sekadar bernafas sejenak. Akibatnya, mereka terus memaksa diri menginginkan lebih, melakukan lebih, dan menjadi lebih, meskipun hati dan pikirannya mulai kelelahan. Di sinilah muncul masalah: tubuh bergerak terus, tetapi jiwa ketinggalan jauh di belakang. Ketidaksinkronan antara keduanya perlahan menimbulkan kecemasan, stres berkepanjangan, dan perasaan hampa yang sulit dijelaskan.
Dalam kondisi seperti itu, tasawuf menawarkan perspektif yang sangat berharga. Tasawuf bukan sekadar ajaran spiritual yang abstrak, ia adalah cara hidup yang mengajak manusia untuk kembali kepada inti dirinya. Salah satu prinsip dasar dalam tasawuf adalah muhasabah, yaitu kemampuan untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam diri, dan bertanya: Apa yang sedang aku rasakan? Ke mana aku sedang menuju? Dan untuk siapa aku melakukan semua ini? Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang justru jarang muncul dalam hidup yang terlalu cepat. Mahatma Gandhi pernah menegaskan: “iman harus ditegakkan dengan alasan, sebab ketika iman menjadi buta, ia akan mati”. Dengan muhasabah, seseorang diajak untuk memperlambat langkah, memahami kondisi batinnya, dan mengembalikan hubungan dengan dirinya sendiri.
Kepekaan hati dalam tasawuf juga memiliki peran penting dalam mengembalikan kemampuan “merasakan.” Ketika seseorang terbiasa melakukan dzikir, bermeditasi dalam keheningan, atau sekadar meluangkan waktu untuk menyadari napasnya sendiri, ia membangun kembali hubungan dengan emosinya (Huda & Priyatna, 2024). Di sinilah letak solusi spiritual terhadap masalah psikologis: bukan dengan lari dari dunia, tetapi dengan menghadirkan kedamaian di dalam diri meski dunia tetap sibuk.
Pada akhirnya, hidup modern tidak dapat dihindari, tetapi kita selalu punya pilihan tentang bagaimana menghadapinya. Kita boleh mengejar mimpi, bekerja keras, dan meraih prestasi, tetapi bukan berarti kita harus kehilangan kemampuan untuk merasakan. Tasawuf mengingatkan bahwa manusia bukan mesin pencapai target; manusia memiliki hati yang perlu dirawat dan jiwa yang harus diberi ruang untuk bernapas. Dengan menggabungkan kesadaran spiritual dan kecerdasan emosional, kita bisa menjalani hidup modern dengan lebih seimbang tidak hanya sibuk mengejar, tetapi juga mampu merasa.