Oleh Berliani Sefrin Afrina
Indonesia memiliki keberagaman budaya yang tumbuh di kehidupan masyarakatnya dan berkembang banyak tradisi daerah. Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya sebagai identitas budaya namun juga mengandung nilai-nilai kehidupan. Dalam masyarakat Minangkabau, tradisi adat memiliki kedudukan penting karena mengandung nilai moral, religius, dan sosial yang masih dijaga hingga sekarang. Salah satu tradisi yang tumbuh dalam masyarakat Minangkabau adalah tradisi malapeh niek. Malapeh niek merupakan sebuah tradisi yang hidup dan masih dijalankan oleh masyarakat Minangkabau, khususnya di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Malapeh niek adala sebuah tradisi menunaikan niat. Tradisi ini biasanya berawal dari kondisi sulit atau harapan tertentu yang dialami seseorang. Ketika berada dalam keadaan terdesak seperti sakit, menghadapi masalah besar, atau berharap keselamatan dan kelancaran rezeki, seseorang akan mengucapkan niat dalam hatinya. Niat tersebut berupa janji untuk melakukan suatu amalan apabila harapan itu nantinya dikabulkan oleh Allah SWT.
Ketika harapan itu benar-benar terkabul, maka niat tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. Orang yang berniat harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan sebelumnya sebagai bentuk rasa syukur dan tanggung jawab atas niat yang telah diucapkan. Inilah yang disebut sebagai tradisi malapeh niek, yaitu melepaskan atau menunaikan niat.
Menariknya, tradisi malapeh niek tidak memiliki aturan yang kaku. Tidak ada ketentuan khusus mengenai waktu, tempat, maupun tata cara pelaksanaannya. Sebagian orang melaksanakannya dengan berdoa, ada juga yang membawa makanan, bersedekah, atau melakukan amalan lain sesuai dengan niat awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa yang paling penting dalam malapeh niek bukanlah bentuk ritualnya, melainkan ketulusan niat dan kesadaran spiritual dari orang yang melakukan tradisi ini.
Dalam praktiknya, malapeh niek sering dilakukan di tempat-tempat yang dianggap memiliki nilai religius, seperti makam ulama atau tokoh agama, di Ulakan sendiri biasanya orang-orang malapeh niek di makam Syekh Burhanuddin. Namun, tempat tersebut bukanlah unsur wajib. Keberadaan tempat hanya berfungsi sebagai sarana untuk berdoa dan merenung, sementara tujuan utamanya tetap mendekatkan diri Allah SWT. Dengan demikian, tradisi ini tidak bertentangan dengan nilai keagamaan, melainkan justru memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan Sang Pencipta.
Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman, tradisi-tradisi lokal seperti malapeh niek mulai kurang atau bahkan tidak dikenal oleh generasi muda. Tradisi seperti ini sering dianggap kuno dan tidak relevan dengan kehidupan modern. Padahal, jika dipahami lebih dalam, malapeh niek mengandung nilai-nilai universal yang tetap relevan hingga sekarang, seperti keikhlasan, kesabaran, rasa syukur, dan tanggung jawab terhadap janji.
Malapeh niek bukan sekadar ritual budaya, tetapi juga menjadi sarana pembentukan sikap spiritual dalam kehidupan masyarakat. Tradisi ini mengajarkan bahwa setiap niat yang diucapkan memiliki konsekuensi moral, dan rasa syukur tidak cukup hanya diucapkan, tetapi juga dapat diwujudkan melalui tindakan.
Di tengah arus modernisasi, tradisi malapeh niek tetap memiliki makna penting jika dipahami secara benar. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, tradisi ini perlu terus dikenalkan, diceritakan, dan dipahami agar tetap lestari sebagai bagian dari kekayaan budaya dan spiritual masyarakat Minangkabau.
Biodata Penulis:
Berliani Sefrin Afrina, lahir pada tanggal 4 September 2006 di Padang, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.