Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mantan Kandung: Jaga Relasi atau Sulit Move on?

Pernah merasa bingung dengan 'mantan kandung'? Yuk, pahami apa arti hubungan ini, dampaknya pada emosimu?

Oleh Tesalonika Elra Justicia Riyanto

Aku pertama kali mendengar istilah “mantan kandung” bukan dari psikologi, tapi dari obrolan santai teman. Awalnya terdengar lucu, nyaris seperti bercanda. Tapi semakin ke sini, aku sadar istilah itu nyata. Mantan kandung bukan sekadar mantan biasa. Ia adalah orang yang pernah sangat dekat, tahu versi paling rapuh dari dirimu, tapi tetap tinggal dalam lingkaran hidupmu, entah sebagai teman, sahabat, atau sekadar “orang yang masih ada”.

Mantan Kandung

Hubungan seperti ini sering membuat kita bingung: sebenarnya ini sehat atau justru perlahan melelahkan?

1. Apakah Memiliki Mantan Kandung Itu Sehat?

Jawabannya tidak hitam-putih. Dalam beberapa kasus, hubungan ini bisa terlihat dewasa—dua orang yang pernah saling mencintai tapi mampu berpisah tanpa saling membenci. Ada kedewasaan di sana, ada penerimaan bahwa tidak semua hubungan harus berakhir dengan saling menghilang.

Namun, kesehatan emosional hubungan ini sangat bergantung pada satu hal: kejelasan batas. Jika kedekatan itu masih menyimpan harapan terselubung, cemburu yang dipendam, atau rasa memiliki yang tidak diakui, maka “mantan kandung” bukan tanda kedewasaan, melainkan bentuk penundaan luka.

2. Dampak Jangka Panjang Secara Emosional

Dalam jangka panjang, memiliki mantan kandung bisa membuat seseorang terjebak di masa lalu. Tanpa sadar, kita tidak memberi ruang penuh bagi hubungan baru karena sebagian emosi masih “nyangkut”. Kita merasa sudah move on, tapi kenyataannya belum sepenuhnya lepas. Setiap kali mantan itu hadir, ada perasaan lama yang ikut muncul—baik itu nyaman, sedih, atau bingung.

Jujur aku pernah berada di titik itu. Merasa aman karena ada sosok yang sudah mengenal diriku luar-dalam, tapi di saat yang sama, aku sulit membuka hati sepenuhnya untuk orang baru. Mantan kandung menjadi zona abu-abu: tidak bersama, tapi juga tidak benar-benar pergi. Dan zona abu-abu, lama-lama melelahkan.

3. Soal Batas dan Kejujuran

Yang sering kita lupakan bukan perasaannya, tapi batasnya. Apakah kita masih cocok berteman karena sudah pulih, atau karena takut benar-benar sendirian? Menurutku beberapa kasus mantan kandung bukan tentang cinta yang bertahan, tapi tentang keberanian yang belum utuh untuk melepas.

Yang sering luput dalam relasi dengan mantan kandung bukanlah soal apakah perasaan itu masih ada atau tidak, melainkan soal batas yang kabur. Kita sering merasa sudah “baik-baik saja” dan menganggap kedekatan sebagai tanda kedewasaan emosional. Padahal, belum tentu itu tanda pulih. Bisa jadi kita masih bertahan di ruang yang sama karena belum siap benar-benar sendirian, atau takut menghadapi versi diri tanpa kehadiran orang yang dulu begitu akrab.

Di titik ini, kejujuran menjadi hal yang paling sulit jujur pada orang lain, dan terutama pada diri sendiri. Apakah kita masih berteman karena memang sudah selesai dan damai, atau karena masih ada sisa harapan yang tidak pernah benar-benar diakui? Kadang, hubungan dengan mantan kandung bukan bukti cinta yang bertahan, melainkan cermin dari keberanian yang belum sepenuhnya utuh untuk benar-benar melepaskan.

4. Dampaknya ke Hubungan yang Baru

Hal yang paling jarang dibicarakan adalah dampaknya terhadap orang baru. Tidak semua pasangan bisa menerima keberadaan mantan yang masih “terasa hidup” dalam keseharian kita. Bahkan ketika tidak ada niat buruk, keberadaan mantan kandung bisa memunculkan rasa tidak aman, curiga, dan luka yang tidak perlu. Aku belajar bahwa kedewasaan bukan soal tetap dekat dengan semua orang dari masa lalu, tapi soal memilih siapa yang pantas dibawa ke masa depan.

Mantan kandung bukan sepenuhnya salah, tapi juga tidak selalu bijak. Ia bisa menjadi tanda kedewasaan, atau justru bukti bahwa kita belum berani benar-benar melepaskan. Pada akhirnya, yang perlu ditanya bukan “apakah ini normal?”, tetapi “apakah ini sehat untukku sekarang?”

Karena melepaskan bukan berarti kehilangan segalanya kadang justru cara paling jujur untuk menyelamatkan diri sendiri. Tidak semua yang terasa nyaman, benar-benar menyehatkan.

Tesalonika Elra Justicia Riyanto

Biodata Penulis:

Tesalonika Elra Justicia Riyanto saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Sebelas Maret. Penulis bisa disapa di Instagram @tessalophile
© Sepenuhnya. All rights reserved.