Oleh Indri Rahmadani
Berbicara tentang bencana alam di Indonesia, terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang seringkali terjadi musibah gempa, banjir, tanah longsor dan sebagainya. Wilayah-wilayah tersebut memiliki ciri khasnya sendiri tentang bencana alam yang sering menghampirinya. Wilayah di Indonesia yang sering terjadi bencana seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Jakarta, Jawa Tengah dan lain-lain. Banjir sering dilihat hanya sebagai peristiwa alam yang terjadi secara tiba-tiba, lalu surut dan terlupakan. Namun, dalam video Ngariksa 77 | Ngobrol Banjir dan Manuskrip, Kang Oman menunjukkan bahwa bencana seperti banjir sesungguhnya memiliki “memori panjang” yang tidak boleh diputus dan tenggelam dari sejarah. Ingatan tentang banjir tidak hanya terekam dalam ingatan lisan masyarakat, tetapi juga tertulis dalam manuskrip naskah kuno Nusantara yang menjadi saksi perjalanan manusia menghadapi alam.
Melalui manuskrip, kita dapat melihat bahwa banjir bukan semata kejadian meteorologis, melainkan peristiwa sosial, historis, dan budaya yang membentuk peradaban, bagaimana manusia merespons, merekam, dan belajar dari alam yang menguji mereka. Dalam video tersebut, Kang Oman mengungkapkan bahwa manuskrip Nusantara memuat banyak catatan tentang fenomena cuaca ekstrem seperti hujan deras, badai, kilat, tanah longsor, dan banjir besar. Catatan-catatan seperti ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia menunjukkan adanya kesadaran masyarakat tradisional bahwa bencana bukan sekadar peristiwa sementara, melainkan momen penting yang mesti dikenang dan diwariskan. Salah satu contoh paling kuat adalah manuskrip asal Minangkabau yang dikenal sebagai Syair Taloe Tarendam (sekitar tahun 1890). Syair ini menggambarkan banjir besar yang merendam rumah hingga atap dan menghancurkan kehidupan masyarakat.
Banjir digambarkan tidak hanya sebagai fenomena fisik, tetapi sebagai pengalaman sosial yang menimbulkan trauma kolektif. Dengan menuliskan peristiwa itu, nenek moyang kita sedang mengirim pesan: bahwa bencana adalah bagian dari siklus kehidupan, dan manusia harus memahaminya, bukan melupakannya. Catatan banjir dalam manuskrip juga menunjukkan adanya upaya untuk membaca gejala alam, memahami penyebab bencana, dan menafsirkan relasi manusia dengan lingkungannya. Di banyak naskah, bencana ditanggapi sebagai peringatan moral sekaligus sebagai tanda perubahan ekologis.
Menurut Muhtada (dalam Indiyanto & Kuswanjono, 2017, blm 64), dalam perspektif teologis masyarakat Minangkabau menganggap bencana ke dalam beberapa pandangan. Pertama, bencana sebagai takdir Allah karena diyakini sebagai ketetapan yang sudah diatur oleh Allah sejak azali. Manusia hanya dapat menerima dan menghadapinya dengan sabar serta tawakal. Pemahaman ini berakar pada prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” yang menempatkan ajaran Islam sebagai pedoman utama dalam membaca peristiwa kehidupan. Kedua, bencana sebagai kesalahan manusia. Kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, konflik antarsesama, dan penyimpangan moral dipandang dapat mengundang murka atau peringatan dari Allah. Pandangan ini menunjukkan adanya hubungan erat antara tindakan manusia dengan keseimbangan alam. Jika manusia merusak alam, maka bencana dipahami sebagai mekanisme koreksi dari Tuhan terhadap kelalaian manusia. Ketiga, bencana sebagai kombinasi antara takdir dan kesalahan manusia. Cara pandang ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak dan tanggung jawab, sehingga bencana tidak hanya menjadi urusan spiritual tetapi juga persoalan etis dan ekologis.
Banjir bukan hanya soal hujan deras yang selalu terjadi di negara kita yang tropis ini. Sejak masa lalu, banjir terjadi karena kombinasi faktor alam dan manusia. Dalam beberapa manuskrip disebutkan kegagalan kanal, kerusakan saluran air, pembukaan lahan yang sembarangan, atau pembangunan pemukiman yang tidak mempertimbangkan aliran sungai. Bahkan di Batavia abad ke-19, sudah terdapat catatan mengenai gagalnya sistem drainase yang membuat banjir menjadi masalah tahunan. Fakta ini menunjukkan bahwa problem banjir bukan semata “musibah alami”, melainkan juga hasil dari ketidakseimbangan tata kelola lingkungan. Di sinilah manuskrip berfungsi sebagai cermin peradaban. Ia memperlihatkan bagaimana manusia di berbagai era mencoba memahami lingkungan dan sekaligus merefleksikan kesalahan mereka sendiri. Dalam konteks Indonesia hari ini dengan urbanisasi cepat, penyempitan daerah resapan, dan perubahan iklim pelajaran dari manuskrip menjadi sangat relevan. Manuskrip sangat berfungsi sebagai sumber data untuk kajian kebencanaan, perubahan lingkungan dan iklim. Judul “Ingatan yang Tak Pernah Kering” mencerminkan bahwa ingatan tentang banjir terus hidup dalam budaya Nusantara. Manuskrip menjadi wadah yang menjaga ingatan itu tetap basah tetap mengalirkan pelajaran bagi generasi setelahnya. Oleh karena itu, kita sebagai penerus generasi harus menerapkan upaya membaca, meneliti dan mendigitalisasi manuskrip agar tetap menjaga ingatan kolektif senantiasa.
Biodata Penulis:
Indri Rahmadani saat ini aktif sebagai mahasiswi, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.