Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Manuskrip sebagai Jejak Pengetahuan Bencana Alam di Nusantara

Ayo selami manuskrip kuno Nusantara yang menyimpan rahasia menghadapi bencana alam dan warisan kearifan lokal nenek moyang kita.

Oleh Afny Dwi Sahira

Ketika bencana alam datang silih berganti, kita sering menganggapnya sebagai peristiwa baru yang lahir dari perubahan cuaca ekstrem atau ketidaksiapan manusia modern. Namun, jika menelusuri lebih jauh warisan kebudayaan Nusantara, ternyata nenek moyang kita telah merekam berbagai tanda, pengalaman, dan kebijaksanaan terkait bencana alam jauh sebelum istilah “mitigasi” dikenal luas. Hal ini tergambar jelas dalam sejumlah manuskrip yang tersebar di berbagai daerah, seperti Aceh dan Minangkabau. Manuskrip-manuskrip itu bukan hanya teks tua yang rapuh, melainkan memori kolektif yang merekam bagaimana masyarakat lampau menghadapi banjir, cuaca ekstrem, dan perubahan alam yang tak terduga.

Manuskrip sebagai Jejak Pengetahuan Bencana Alam di Nusantara

Video yang disajikan oleh chanel Ngariksa di Youtube memberikan gambaran menarik tentang hubungan antara manuskrip dengan bencana alam, khususnya banjir. Salah satu contoh yang diangkat berasal dari Aceh. Di daerah tersebut ditemukan sebuah lembar manuskrip yang secara fisik hanya tersisa satu halaman. Namun, tentu saja bukan berarti buku aslinya hanya terdiri dari satu lembar semata. Kemungkinan besar, manuskrip ini adalah bagian dari kumpulan halaman yang tercecer dari sebuah karya yang lebih besar, berisi catatan orang-orang pada masa lampau mengenai bencana alam. Meski hanya satu lembar, isinya mengandung pesan dan pengamatan yang penting tentang kondisi alam dan perilaku manusia pada zaman itu.

Salah satu tokoh yang berperan besar dalam pelestarian manuskrip tersebut adalah seorang anak muda Aceh yang digambarkan sebagai generasi milenial yang peduli terhadap warisan budaya daerahnya. Ia tidak hanya mengumpulkan manuskrip, tetapi juga artefak-artefak budaya lainnya. Dengan semangat dan kecintaan pada kearifan lokal, ia berhasil mengumpulkan ratusan manuskrip dan mendirikan sebuah museum. Melalui upaya ini, budaya Aceh yang tersimpan dalam aksara, bahasa, dan ingatan sejarah dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Salah satu manuskrip Aceh yang dijelaskan dalam video ditulis dengan aksara Jawi, meskipun bahasanya adalah bahasa Aceh. Hal ini terjadi karena Aceh tidak memiliki aksara khusus, sehingga aksara Jawi digunakan sebagai medium penulisan. Fenomena serupa juga ditemukan di Minangkabau, masyarakat Minang menggunakan aksara Jawi, meskipun bahasa yang dituliskan adalah bahasa Minang. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat Nusantara menggunakan berbagai sistem aksara yang ada untuk mencatat kehidupan mereka, termasuk fenomena alam.

Dalam penjelasannya, Masykur Syafruddin dari Pedir Museum Aceh menguraikan isi salah satu manuskrip Aceh yang membicarakan banjir. Salah satu kutipan yang ditampilkan berbunyi: 

Hujan di gunung datangkan banjir, orang menanam di dalam sawah. Banyak sekali fitnah di dunia; suara dalam rimba bersama binatang, air kuala itu tempat masuk. Orang memetik bunga di atas pohon kupula, orang di dunia hati tidak senang hina memandang perbuatan kita.

Kutipan ini tampak metaforis, namun memuat makna ekologis dan moral sekaligus. Ada pesan tentang air hujan yang jatuh di gunung dan kemudian menyebabkan banjir di daerah hilir. Ada pula penyebutan lokasi-lokasi tertentu yang rawan banjir, menunjukkan bahwa masyarakat masa lampau sudah memahami hubungan antara topografi dan risiko bencana. Selain itu, pesan moral dan peringatan spiritual turut disisipkan, seolah ingin menegaskan bahwa bencana bukan hanya persoalan alam, tetapi juga pengingat bagi manusia.

Apabila tidak ada sosok seperti Masykur, atau orang-orang Aceh yang memahami bahasa dan konteks lokal manuskrip tersebut, maka kearifan lokal yang terkandung di dalamnya berisiko hilang bersama perubahan generasi. Ini menjadi peringatan bahwa pelestarian manuskrip tidak hanya soal menyimpan benda kuno, melainkan menjaga ingatan kolektif masyarakat agar tidak terputus.

Selain contoh dari Aceh, video tersebut juga menyinggung satu manuskrip penting yang berkaitan dengan Minangkabau, meski manuskrip itu tidak tersimpan di Sumatera Barat melainkan di Perpustakaan Leiden. Naskah tersebut adalah “Syair Nagari Taloe Tarendam 1890”, yang sudah ditranslasi oleh Pramono, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, bersama timnya. Syair ini berisi catatan tentang banjir besar di Lembah Anai pada tahun 1892. Bencana tersebut digambarkan secara rinci, menjadi bukti bahwa banjir memang telah berulang kali terjadi di wilayah itu. Dengan demikian, manuskrip dapat berfungsi sebagai rekaman sejarah bencana yang sangat berharga.

Melalui berbagai temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa fenomena seperti hujan, petir, dan banjir bukanlah sesuatu yang baru terjadi pada zaman modern. Sejak dahulu kala, leluhur kita telah menuliskan pengalaman mereka, baik sebagai catatan sejarah, peringatan, maupun bentuk kearifan lokal. Bagi masyarakat Nusantara, alam bukanlah tamu yang datang sesekali, melainkan penghuni tetap yang harus dihormati. Hujan bisa membawa berkah, tetapi juga bisa menghadirkan musibah dan semua itu sudah disadari oleh generasi sebelumnya.

Oleh karena itu, mempelajari manuskrip bukan hanya mempelajari teks kuno, tetapi juga memahami bagaimana nenek moyang kita membaca tanda-tanda alam. Manuskrip memberi kita kesempatan untuk belajar dari masa lalu agar kita mampu menghadapi masa kini dengan lebih bijaksana. Masih banyak naskah yang membicarakan bencana alam, termasuk banjir, yang dapat memberikan informasi dan pelajaran penting bagi kajian budaya maupun mitigasi bencana hari ini. Warisan ini seharusnya tidak kita biarkan hilang, sebab di sanalah tersimpan kebijaksanaan yang dibangun oleh generasi demi generasi.

© Sepenuhnya. All rights reserved.