Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Matahari Terbit di Bukit Gancik: Rutinitas Warga Lereng Merbabu yang Mendadak Jadi Atraksi Wisata

Yuk menikmati Bukit Gancik di Selo, Boyolali—bukan hanya sunrise indah, tapi juga kehidupan desa yang berjalan pelan dan hangat.

Oleh Nuriyatin Fighya

Bukit Gancik di Selo, Boyolali, dulu hanyalah bagian dari rutinitas warga yang berjalan kaki ke ladang di lereng Merbabu. Tidak ada pintu masuk wisata, tidak ada pos retribusi, tidak ada gazebo estetik. Namun setelah media sosial ramai menampilkan sunrise spektakuler dari puncaknya, tempat ini berubah menjadi destinasi baru yang memikat banyak orang—dari pemburu golden hour hingga pejalan amatir yang cuma ingin “healing” sebentar.

Matahari Terbit di Bukit Gancik

Yang membuat Bukit Gancik menarik bukan sekadar panoramanya, tetapi cara tempat ini tumbuh menjadi wisata tanpa kehilangan karakter desa. Pagi-pagi, sambil menunggu matahari naik, pengunjung masih bisa melihat warga membawa cangkul dan keranjang, berjalan santai menuju ladang. Perjumpaan semacam ini jarang ditemukan di destinasi populer lain yang sudah sangat komersial.

Perubahan ekonomi pun mulai terasa. Banyak warga membuka warung kecil, jasa ojek, hingga menyewakan tempat parkir di halaman rumah. Ekonomi mikro bergerak, tapi tidak sampai menimbulkan kesan wisata “dipaksa jadi viral”. Kenaikan wisatawan terjadi secara organik, mengikuti selera publik terhadap tempat bernuansa natural.

Tapi ada catatan penting: pertumbuhan wisata yang cepat tanpa regulasi sering berisiko. Beberapa tahun terakhir, beban kunjungan di Bukit Gancik meningkat pada hari libur, terutama sunrise weekend. Jalur kecil yang awalnya hanya dipakai warga menjadi cukup padat. Kontrol sampah mulai menjadi perhatian. Untungnya, komunitas pemuda lokal bergerak cepat membentuk kelompok pengelola, termasuk penataan jalur, pembatasan parkir, serta program kebersihan.

Bukit Gancik adalah contoh menarik tentang bagaimana wisata kecil bisa mengangkat ekonomi desa, tanpa kehilangan kedekatan budaya. Sunrise di sini memang indah, tetapi yang membuat pengalaman semakin kuat adalah suasana hidup masyarakat lereng gunung: udara dingin, suara ayam, bau tanah lembab, sampai obrolan ringan warga.

Mungkin yang dicari orang kota bukan hanya matahari terbit, tetapi kesempatan melihat kehidupan yang berjalan perlahan—sesuatu yang mulai hilang dari keseharian perkotaan. Dan di titik inilah Bukit Gancik punya nilai lebih: ia bukan sekadar spot foto, tetapi ruang belajar tentang ritme hidup yang lebih manusiawi.

Biodata Penulis:

Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa

© Sepenuhnya. All rights reserved.