Oleh Mar'atus Solekha
Dalam beberapa tahun terakhir, isu krisis akhlak semakin ramai dibicarakan di tengah masyarakat. Mulai dari budaya saling menghina di media sosial, maraknya perilaku tidak sopan di sekolah, rendahnya rasa hormat kepada guru dan orang tua, hingga meningkatnya kasus kekerasan verbal maupun fisik antar pelajar. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi dan kemajuan zaman tidak selalu diiringi dengan kematangan moral. Di sinilah Pendidikan Agama Islam (PAI) memainkan peran penting sebagai benteng sekaligus penuntun agar generasi muda tetap berada di jalur akhlak yang benar.
Akhlak dalam Islam bukan sekadar perilaku baik secara lahiriah, tetapi mencakup kesadaran batin yang mendorong seseorang untuk berbuat benar, meski tidak ada yang melihat. Akhlak adalah cerminan iman, sebagaimana Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Karena itu, krisis akhlak bukan hanya masalah perilaku, tetapi juga masalah ketidakseimbangan antara pengetahuan, spiritualitas, dan kepribadian. Banyak siswa pintar secara akademik, mahir menggunakan teknologi, tetapi belum tentu terampil dalam mengelola emosi, berbicara dengan sopan, atau menghargai sesama.
Pendidikan Agama Islam memegang peran strategis dalam menghadapi persoalan ini. Dalam pembelajaran PAI, siswa tidak hanya diperkenalkan pada konsep halal-haram atau tata cara ibadah, tetapi juga diarahkan untuk membentuk kepribadian yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Nilai amanah misalnya, mengajarkan pentingnya tanggung jawab dalam tugas dan pekerjaan. Nilai sidq (kejujuran) menuntut anak untuk berani mengatakan kebenaran meskipun pahit. Nilai tawadhu’ mengajarkan kerendahan hati, dan ihsan menanamkan kebiasaan melakukan yang terbaik dalam setiap tindakan. Semua nilai ini menjadi modal penting bagi generasi muda menghadapi derasnya arus informasi dan pengaruh negatif dunia digital.
Namun yang perlu disadari, Pendidikan Agama Islam tidak dapat bekerja sendirian. PAI bisa memberi arah, tetapi keteladanan tetap menjadi unsur paling kuat dalam pembentukan akhlak. Guru harus menjadi figur yang menunjukkan akhlak mulia dalam tutur kata, cara menegur, maupun cara menghadapi masalah. Orang tua juga memiliki peran yang sama besar; pendidikan karakter paling awal muncul dari rumah. Tidak jarang krisis akhlak pada anak adalah cerminan dari pola komunikasi dalam keluarga. Ketika anak terbiasa mendengar kata-kata kasar atau melihat perilaku kasar, ia akan menganggapnya sebagai hal biasa.
Pembelajaran PAI perlu beradaptasi dengan dunia siswa hari ini. Ceramah yang monoton sering kali tidak lagi efektif. Sebaliknya, pembelajaran yang berbasis keteladanan, diskusi kasus nyata, proyek sosial, dan praktik langsung jauh lebih mudah menyentuh hati siswa. Misalnya, siswa dilibatkan dalam kegiatan bakti sosial, gerakan berbagi, atau kampanye anti-bullying di sekolah. Melalui aktivitas nyata, nilai akhlak tidak hanya dipahami, tetapi benar-benar dialami. Pendekatan ini membuat siswa merasakan bahwa akhlak bukan teori tetapi gaya hidup.
Selain itu, integrasi nilai akhlak perlu diterapkan pada seluruh mata pelajaran, bukan hanya PAI. Guru matematika, sains, ataupun bahasa dapat mengajarkan disiplin, ketelitian, dan kejujuran dalam proses belajar. Sekolah yang harmonis adalah sekolah yang mempraktikkan budaya akhlak secara menyeluruh.
Pada akhirnya, melawan krisis akhlak adalah tugas bersama. Pendidikan Agama Islam menyediakan landasan nilai yang kuat, namun keberhasilannya sangat bergantung pada sinergi antara guru, orang tua, lingkungan, dan diri siswa sendiri. Jika nilai-nilai Islam diterapkan dalam keseharian, bukan hanya diajarkan, maka akan lahir generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berkarakter, santun, dan mampu menjadi agen kebaikan di tengah masyarakat. Generasi seperti inilah yang akan menjadi harapan bangsa di masa depan.
Biodata Penulis:
Mar'atus Solekha saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.