Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Memori Banjir dan Pesan dari Manuskrip Nusantara

Mari merenungkan kembali pesan leluhur dalam naskah kuno yang mengingatkan tentang bahaya banjir.

Oleh Nailah Surfi Irawan

Dalam segi pandangan manuskrip, banjir yang disebabkan oleh hujan sudah sering terjadi setiap tahun. Ketika musim hujan tiba, Indonesia kembali menghadapi realitas yang pahit yaitu banjir yang berulang, korban jiwa, dan kerugian material yang tak terhitung. Fenomena ini bukan sekadar siklus alam biasa, melainkan sebuah pengingat akan kegagalan kolektif dalam mengelola ingatan dan kearifan masa lalu. Dalam sebuah diskusi mendalam, "Ngariksa 77 | Ngobrol Banjir dan Manuskrip," Kang Oman Abdurrahman mengajak kita merenungi “mengapa bencana yang sudah dicatat ratusan tahun lalu dalam manuskrip kuno Nusantara masih saja menjadi tragedi yang baru di masa kini?”

Memori 200 Tahun yang Gagal Diterapkan

Banjir yang melanda berbagai wilayah mulai dari Jakarta, Aceh, hingga Minangkabau, bukanlah kejadian tunggal, melainkan babak berulang dari sebuah kisah panjang. Dalam rekaman sejarah, seperti yang dibahas pada penelitian Dr. Restu Gunawan tentang “Kegagalan Sistem Kanal Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa”, kita menemukan catatan kritis sejak abad ke-19, tepatnya pada tahun 1892. Lebih dari dua abad telah berlalu, namun pertanyaan mendasar tetap menggantung: “Apa artinya memori kolektif kita tentang banjir, dan mengapa kebijakan mitigasi di masa kini seolah-olah tidak belajar dari sejarah 200 tahun silam?”

Manuskrip Nusantara

Nusantara sebagai wilayah tropis yang rawan akan erupsi gunung berapi, gempa, tsunami, dan hujan deras, telah menyimpan memori kolektif ini secara permanen. Namun, memori tersebut seakan menjadi warisan yang gagal diintegrasikan ke dalam ikhtiar lahiriah dan perencanaan tata ruang modern. Kejadian tragis seperti yang menimpa siswa di MTsN 19 Pondok Labu dan puluhan ribu warga yang mengungsi di Aceh Utara, menunjukkan bahwa kegagalan bukan hanya terletak pada infrastruktur fisik, akan tetapi juga pada kegagalan membaca dan memahami pesan-pesan dari masa silam.

Manuskrip kuno bagi masyarakat Nusantara adalah sebuah repository kearifan lokal. Manuskrip juga diperingati sebagai “Peringatan” yang sering diabaikan. Adapun dua bukti yang kuat dari dua wilayah yang berbeda, yaitu:

1. Aceh

Sebuah lembar manuskrip yang diselamatkan oleh Bang Masyur Safrudin dari Pendiri Museum, menceritakan tentang banjir dalam bahasa Aceh yang ditulis dengan aksara Jawi. Pesan dalam teks tersebut, yang diterjemahkan sebagai, "Hujan di gunung datangkan banjir, orang menanam di dalam sawah..." menggambarkan hubungan kausalitas yang mendalam antara hujan di hulu dan dampaknya di hilir. Manuskrip ini adalah peringatan tentang tata kelola air dan lingkungan yang sensitif, sebuah teguran bahwa alam telah berulang kali mengirimkan sinyal bahaya. 

2. Minangkabau

Naskah Syair Nagari Taloe Tarendam yang ditulis pada tahun 1890 dan diteliti oleh Dr. Pramono, memberikan deskripsi rinci tentang dahsyatnya bencana banjir di Lembah Anai dan Batang Sumani pada masa itu. Bait-bait syairnya secara dramatis menjelaskan air bah yang mencapai atap rumah, bahkan menenggelamkan gudang kompeni. Salah satu kutipan (94), yaitu: “Air nan gadang bertambah dalam berapa buah kampung terendam, negeri tak ubah bagai lautan berpanjang panjang taulan di dalam”. Transkipnya menggunakan bahasa Melayu Minang, sehingga lebih mudah dimengerti daripada bahasa Aceh. Dokumentasi tekstual ini menegaskan bahwa banjir bukanlah sebuah penyimpangan, melainkan siklus yang harus disikapi dengan kesiapsiagaan permanen. Akan tetapi, kearifan lokal yang terkandung dalam manuskrip ini sering kali hanya "menasional" dalam bentuk cerita, bukan dalam bentuk kebijakan yang terintegrasi. Hal ini membutuhkan upaya pelestarian dan kajian serius agar pesannya dapat dipahami oleh generasi penerus kebijakan.

Urgensi Pelestarian dan Inovasi Konservasi

Pelestarian manuskrip kuno dihadapkan pada dua tantangan besar, yakni ancaman fisik dan ancaman kebudayaan. Secara fisik, manuskrip rentan terhadap kerusakan akibat air. Contohnya penanganan naskah yang terendam pasca tsunami Aceh 2004, di mana cara penanganan yang salah (misalnya, menjemur di bawah sinar matahari) justru dapat mempercepat kerusakan. Solusi konservasi modernnya adalah seperti penyimpanan di freezer atau kulkas khusus, serta restorasi menggunakan kertas Wasi. Hal ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan pengelola warisan di daerah.

Ancaman kebudayaan terletak pada hilangnya kemampuan masyarakat untuk membaca dan memahami aksara dan bahasa lokal. Peran lembaga seperti Nahdlatul Turots, pesantren, dan museum lokal yang melakukan upaya digitalisasi, deskripsi, dan kajian naskah adalah kunci untuk menjaga agar memori kolektif ini tetap hidup dan relevan. Tanpa upaya ini, kearifan lokal akan menjadi benda mati yang hanya tersimpan di rak perpustakaan, terputus dari realitas kehidupan sosial dan bencana di sekitarnya. 

Keseimbangan antara Ikhtiar Lahiriah dan Spiritualitas

Selanjutnya adalah dimensi spiritual dalam menghadapi sebuah bencana. Dalam tradisi Islam, melalui rujukan pada manuskrip klasik seperti Kitab Al-Yaqin karya Ibnu Abi AdDunya, hujan pada dasarnya membawa maslahat, diibaratkan sebagai suami dan istri yang saling membutuhkan. Bencana hanya terjadi pada sebagian kecil kasus sebagai pengingat. Penting untuk menyeimbangkan antara ikhtiar lahiriah (mitigasi bencana, perbaikan drainase, tata ruang yang bijak) dengan ikhtiar spiritual. Nabi Muhammad SAW mengajarkan doa ketika menghadapi hujan lebat, seperti “Allahumma shoyyiban hanian” (Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang memberikan ketentraman) atau “Allahumma shoyyiban nafi'an” (Ya Allah, jadikanlah hujan ini bermanfaat). Doa ini bukan bentuk kepasrahan total, melainkan pengakuan akan kekuasaan Tuhan sekaligus harapan agar upaya mitigasi manusia membuahkan hasil yang positif. Doa berfungsi sebagai penguatan moral dan spiritual yang memastikan bahwa masyarakat tidak panik, melainkan bertindak dengan akal sehat dan iman.

Dapat kita simpulkan bahwa banjir di Nusantara adalah suatu cerminan dari kegagalan mentransformasi memori kolektif yang kaya (dalam bentuk manuskrip) menjadi kebijakan nasional yang aktif dan berkelanjutan. Pesan-pesan dari Aceh dan Minangkabau ratusan tahun lalu sudah terlihat jelas bahwa Nusantara adalah rumah bagi hujan, bukan sekadar tamu sesekali. Tugas kita pada masa kini, terutama bagi para generasi penerus kebijakan adalah menjadikan konservasi dan kajian manuskrip bukan hanya sekadar proyek kebudayaan, akan tetapi bagian dari strategi mitigasi bencana. Hanya dengan merawat masa lampau, membaca warisan leluhur, dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan masa depan, kita dapat berharap untuk memutus rantai tragedi banjir yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Perlu adanya sinergi antara literasi sejarah, ilmu pengetahuan modern, dan kearifan lokal agar bencana tidak lagi menjadi siklus berulang yang memakan korban. 

Biodata Penulis:

Nailah Surfi Irawan, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.

© Sepenuhnya. All rights reserved.