Gelombang banjir yang kembali menghampiri berbagai penjuru Indonesia, dari kepadatan kota Jakarta Selatan hingga kawasan bersejarah di Aceh dan Sumatera Barat, seharusnya menyentakkan kita dari amnesia. Peristiwa ini, dengan segala dampaknya mulai dari rumah yang terendam hingga pengungsian massal, bukan sekadar bencana tahunan. Sebagaimana yang diangkat dalam diskusi "Ngariksa" episode ke-77, apa yang kita saksikan hari ini adalah kesinambungan dari sebuah drama panjang sejarah Nusantara, yang mana hujan di wilayah tropis selalu menjadi pedang bermata dua: sumber kehidupan sekaligus ujian besar.
Sungguh ironis, bangsa kita secara geografis lahir dan berkembang di tengah ritme air, namun kita tampak terus menerus gagal merangkai ingatan kolektif tentang cara hidup yang selaras dengannya. Padahal, catatan sejarah kita berlimpah. Jauh sebelum istilah "mitigasi" dikenal, nenek moyang kita telah mendokumentasikan dan berupaya menanggulangi ancaman air. Ambil contoh Betawi: penelitian terhadap sistem kanal-kanal yang dibangun sejak abad ke-19 membuktikan bahwa banjir sudah menjadi persoalan krusial sejak era kolonial. Ini menegaskan bahwa tantangan ini bukanlah hal baru, melainkan warisan geografis yang abadi.
Kearifan lokal terekam kuat dalam warisan tekstual kita. Sebuah manuskrip Aceh yang ditulis beraksara Jawi, dengan kalimat yang ringkas namun padat makna, menyimpan ingatan mendalam mengenai dualitas hujan yang mampu membawa kesuburan sekaligus malapetaka. Kehadiran pegiat budaya, seperti pendiri Museum Pidir, menjadi vital; merekalah penjaga agar bahasa dan aksara kuno ini tetap dapat diakses, mencegah memori ini terkubur.
Kondisi yang serupa juga tercermin di Ranah Minang. Syair "Nagari Talua Terendam" dari akhir abad ke-19 memberikan gambaran yang hidup mengenai kepanikan dan kerugian akibat banjir besar. Bagian paling menarik, wilayah yang diidentifikasi dalam syair ternyata masih menjadi penyebab bencana hingga kini sebuah realitas yang dikonfirmasi oleh kajian Mitigasi Bencana Alam di Sumatera Barat. Perubahan bentang alam, curah hujan yang intens, dan karakter geologi kawasan tersebut memang menempatkannya dalam kategori risiko bencana tertinggi., parafrase humanize dari bagian paling menarik
Di luar dimensi historis dan ekologis, bencana ini juga membawa kita pada refleksi spiritual. Tradisi Islam menawarkan ketenangan batin melalui doa saat menghadapi hujan. Doa seperti "Allahumma shoyyiban nafian" berfungsi sebagai pengingat mendasar bahwa ikhtiar manusia dalam mengelola lingkungan harus berjalan seiring dengan kepasrahan kepada Sang Pencipta.
Sayangnya, arsip sejarah yang menyimpan kearifan ini pun berada dalam ancaman. Manuskrip yang terkena air memiliki risiko kerusakan tinggi jika ditangani secara keliru misalnya, dengan langsung dijemur. Penanganan profesional justru memerlukan penyimpanan bersuhu rendah untuk menghambat pertumbuhan jamur dan mencegah pelapukan. Ini menunjukkan pentingnya kolaborasi multisegi antara masyarakat, pemerintah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan untuk melindungi warisan yang sangat rapuh ini.
Jika kita mau melihat dengan jernih, sebenarnya makna yang bisa kita tarik sangat terang. Selama ini kita keliru ketika menempatkan banjir hanya sebagai perkara infrastruktur yang tidak memadai atau masalah teknis belaka. Kenyataannya, bencana seperti ini memperlihatkan betapa kita abai terhadap kearifan lokal dan ingatan sejarah yang sudah diwariskan berabad-abad. Para pendahulu telah meninggalkan petunjuk yang jelas, namun justru itulah yang sering kita lalaikan. Dengan kata lain, kekurangan kita bukan pada informasi yang minim, melainkan pada kemauan pada keteguhan sosial dan politik untuk benar-benar memetik pelajaran dari masa lalu. Kini saatnya kita menghentikan siklus terkejut setiap tahun dan mulai menjadikan catatan sejarah sebagai dasar kuat untuk membangun strategi mitigasi yang lebih matang dan berpandangan jauh ke depan.
Biodata Penulis:
Aisyah Saputri, lahir pada tanggal 5 Maret 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, di Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @me.aca_