Oleh Dian Selfiana
Di era modern yang ditandai dengan percepatan teknologi, pendidikan Islam memiliki tantangan sekaligus peluang besar. Dunia digital menghadirkan akses informasi tanpa batas, tetapi juga membawa arus nilai yang beragam dan tidak selalu selaras dengan prinsip moral Islam. Di sinilah pendidikan Islam berperan sebagai kompas yang membantu generasi muda memahami jati diri, memupuk akhlak mulia, dan mengembangkan kecerdasan spiritual di tengah dunia yang serba cepat.
Pendidikan Islam tidak hanya berkutat pada hafalan materi atau penguasaan teori fikih, akidah, atau sejarah peradaban Islam. Lebih dari itu, ia merupakan proses internalisasi nilai. Ia bertujuan membentuk insan yang seimbang—yang mampu menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Seorang peserta didik tidak hanya diajarkan tentang konsep ihsan atau adab, tetapi juga dibimbing untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari—mulai dari cara menghormati orang tua, berinteraksi di media sosial, hingga bersikap kritis dan bijak dalam menerima informasi.
Di tengah gempuran budaya populer dan gaya hidup instan, pendekatan pendidikan Islam harus lebih kreatif dan kontekstual. Metode ceramah satu arah tidak lagi cukup untuk menjangkau pikiran dan hati generasi Z yang tumbuh dengan visual, interaksi cepat, dan rasa ingin tahu tinggi. Guru PAI perlu menjadi fasilitator yang inspiratif—menggunakan video pembelajaran, storytelling, simulasi kasus muamalah kontemporer, hingga diskusi kelas yang mendorong siswa berpikir reflektif. Ketika pendidikan Islam didekatkan dengan problem nyata yang mereka hadapi, siswa akan merasa bahwa ajaran Islam bukan dogma kaku, melainkan pedoman hidup yang relevan dan solutif.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menanamkan akhlak di tengah dunia maya yang bebas dan tanpa batas. Etika digital, seperti menjaga lisan dalam komentar, menghormati privasi, dan menjauhi ujaran kebencian, adalah bentuk akhlakul karimah yang kini semakin penting. Di sini, pendidikan Islam berfungsi sebagai lembaga pembentuk literasi digital beretika—menekankan bahwa nilai-nilai Islam berlaku di mana saja, termasuk di balik layar ponsel.
Lebih jauh, pendidikan Islam juga bertanggung jawab menumbuhkan semangat toleransi dan kedamaian. Indonesia adalah bangsa majemuk, dan nilai-nilai Islam seperti tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan ta’awun (tolong-menolong) adalah modal sosial penting untuk memperkuat kohesi masyarakat. Ketika siswa memahami bahwa perbedaan adalah sunnatullah dan Islam mengajarkan dialog serta saling menghormati, mereka akan tumbuh sebagai pribadi yang terbuka dan dewasa dalam berinteraksi dengan keberagaman.
Tidak kalah penting, pendidikan Islam harus membuka ruang bagi pengembangan keterampilan abad 21: berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Integrasi nilai-nilai Islam dengan keterampilan ini akan melahirkan generasi yang bukan hanya cakap menghadapi kompetisi global, tetapi juga memiliki landasan moral yang kokoh. Mereka tidak hanya siap bekerja, tetapi juga mampu menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi masyarakat.
Pendidikan Islam adalah investasi peradaban. Ia membentuk karakter, memurnikan hati, dan membangun kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan yang mulia. Dengan pendekatan yang adaptif, interaktif, dan berpusat pada peserta didik, pendidikan Islam dapat terus relevan dan menjadi cahaya bagi generasi masa depan. Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, pendidikan Islam hadir untuk memastikan bahwa nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kebaikan tetap hidup dalam diri setiap anak bangsa.
Biodata Penulis:
Dian Selfiana saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Agama Islam, di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.