Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Menelusuri Jejak Banjir Sumatera Barat dalam Naskah Kuno

Yuk telusuri Syair Nagari Taloe Tarendam, catatan langka tentang banjir besar di Talu yang mengungkap makna spiritual di balik bencana.

Oleh Alizah Fitri Sudira

“Air nan gadang bertambah dalam / berapa buah kampung terendam, negeri tak ubah bagai lautan / berpanjangpanjang taulan di dalam.” Ungkapan ini terdapat dalam manuskrip kuno Syair Nagari Taloe Tarendam dan menggambarkan suasana mencekam ketika bencana banjir melanda di Talu Sumatera Barat. Bencana banjir sendiri memang kerap terjadi di wilayah Minangkabau. Catatan mengenai banjir besar di Sumatera Barat pun tidak hanya muncul pada akhir tahun 2025, tetapi telah berulang kali terdokumentasi lebih dari satu abad sebelumnya. Sejak dahulu, provinsi yang kini berusia 68 tahun itu sudah beberapa kali mengalami banjir besar yang menimbulkan korban jiwa serta kerugian materil.

Jejak Banjir

Salah satu peristiwa banjir dapat ditemukan dalam naskah Syair Nagari Taloe Tarendam. Naskah ini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan tercatat dalam Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands (Volume One) yang disusun oleh Teuku Iskandar. Pada bait terakhir syair tersebut, disebutkan bahwa penulisnya adalah Mohamad Tahir bergelar Tuanku Nan Cerdik. Syair ini diselesaikan di Talu pada 22 Juli 1899, yang berarti baru rampung sembilan tahun setelah bencana banjir yang dikisahkan di dalamnya, yaitu pada tahun 1890.

Syair tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat Talu diliputi kecemasan saat banjir besar melanda daerah mereka. Beberapa kampung diceritakan tenggelam dan kerugian yang dialami sangat besar. Peristiwa itu bermula dari hujan deras yang memicu longsor dan menutup parit pengalir air. Warga kemudian bekerja bersama untuk membersihkan timbunan tanah agar aliran air kembali terbuka. Usaha mereka sempat berhasil, tetapi tidak berlangsung lama karena longsor kembali terjadi. Musibah susulan itu menimpa warga yang sedang bekerja, menyebabkan ada yang meninggal di tempat, ada yang terluka, dan ada yang wafat setelah dievakuasi. Rangkaian kejadian tersebut membuat masyarakat semakin cemas dan merasa tidak berdaya.

Harapan masyarakat Talu tumbuh kembali ketika Syekh Ibrahim Kumpulan datang membantu dan ikut menggali parit yang tertimbun longsor. Setelah bekerja sepanjang hari, Syekh menyampaikan bahwa malam itu akan ada yang melanjutkan pekerjaan tersebut. Keesokan paginya, galian parit sudah jauh lebih dalam sehingga pekerjaan dapat diteruskan hingga aliran air kembali lancar. Malamnya hujan lebat turun, tetapi secara mengejutkan tidak menimbulkan dampak apa pun, dan keesokan paginya banjir di Talu telah sepenuhnya surut.

Terjadinya bencana selalu meninggalkan jejak emosional dan ingatan kolektif yang kuat bagi masyarakat. Dalam naskah ini tampak bahwa pada masa itu ulama dipandang sebagai figur yang paling dekat dengan Allah, sehingga kehadirannya memberi ketenangan dan harapan di tengah musibah. Masyarakat meyakini bahwa setiap bencana terjadi atas kehendak dan ketentuan Allah SWT sehingga respons mereka terhadap peristiwa banjir tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga spiritual. Naskah Syair Nagari Talu Taloe Tarendam menjadi sangat penting karena merupakan satu-satunya catatan pribumi mengenai banjir besar yang pernah melanda Talu pada akhir abad ke-19. Catatan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber awal untuk memetakan kawasan rawan banjir, terutama di wilayah Talu.

Naskah Syair Nagari Taloe Tarendam merupakan bukti penting yang merekam peristiwa banjir besar yang melanda Talu pada akhir abad ke-19. Syair ini memperlihatkan bahwa bencana selalu meninggalkan jejak emosional serta ingatan mendalam bagi masyarakat yang mengalaminya. Pada masa itu, muncul pertanyaan apakah bencana hanyalah peristiwa alam yang wajar atau justru menjadi teguran, hukuman, bahkan wujud kasih sayang dari Sang Pencipta. Proses islamisasi yang berkembang kuat di Minangkabau turut memengaruhi cara pandang tersebut. Dengan demikian, kejadian alam tidak lagi dipahami semata sebagai peristiwa fisik, tetapi juga sebagai pesan moral dan spiritual yang memperkuat hubungan masyarakat dengan Tuhan.

Alizah Fitri Sudira

Biodata Penulis:

Alizah Fitri Sudira saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.

© Sepenuhnya. All rights reserved.