Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Menerapkan Tabayyun Digital: Ta'dib dan Kunci Memposisikan AI secara Tepat

Yuk pelajari peran Ta'dib dan tabayyun digital dalam mengawal penggunaan AI agar tetap manusiawi, bijak, dan berlandaskan adab.

Oleh Anisatul Haniah

Ta'dib, yang berarti pendidikan adab dan disiplin, menjadi relevan untuk menjaga nilai kemanusiaan di tengah kemajuan AI. Konsep ini diperkenalkan oleh Syed Muhammad Naquib al- (Al-Attas, 1980) dan diperkuat oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan (Daud, 2019). Di era digital ini, Ta'dib diperlukan untuk membedakan informasi dari ilmu dan hikmah. Dalam pendidikan dan penggunaan AI, Ta'dib membantu menempatkan teknologi pada posisi yang tepat Untuk mencegah degradasi nilai kemanusiaan, hilangnya orisinalitas berpikir, dan potensi bias algoritma. Dengan mengintegrasikan Ta'dib, manusia tetap menjadi subjek yang mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya.

Menerapkan Tabayyun Digital

Secara etimologis, Ta'dib berasal dari kata "addaba" yang berarti mendidik tata krama. Konsep inilah yang menekankan pendidikan adab dan disiplin yang relevan untuk menjaga nilai kemanusiaan di tengah kemajuan AI. Al-Attas mendefinisikan Ta'dib sebagai pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan, membimbing manusia ke pengenalan tempat Tuhan yang tepat (Al-Attas, 1980). Dalam konteks digital, Ta'dib mengajarkan bahwa informasi yang dihasilkan AI berbeda dari ilmu dan hikmah. AI tidak memiliki "jiwa" atau kesadaran moral untuk memahami kebenaran hakiki. Tanpa Ta'dib, pengguna AI berisiko kehilangan adab, memiliki banyak informasi tetapi kehilangan kemampuan membedakan yang benar dan salah. Sebagai contoh nyata, saat kita bertanya tentang gejala penyakit pada AI, ia mampu menyajikan ribuan data medis (informasi) dalam hitungan detik. Namun, AI tidak memiliki kearifan (hikmah) seorang dokter yang mampu menimbang kondisi psikologis pasien, riwayat keluarga, dan nuansa etis sebelum memberikan diagnosis. Di sinilah letak perbedaan antara sekadar tahu data dengan memahami ilmu.

Inti dari adab adalah keadilan, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya (Floridi, 2018)-. Dalam interaksi dengan AI, Ta'dib menuntut pengguna memposisikan AI sebagai alat bantu, bukan sumber kebenaran mutlak. Individu yang beradab dituntut untuk menerapkan prinsip tabayyun (verifikasi) yang ketat, yaitu tidak menelan mentah-mentah jawaban mesin, melainkan memvalidasinya dengan rujukan otoritatif dan pemikiran kritis. Ta'dib juga menekankan integritas akademik dan pencegahan plagiarisme, menghormati hierarki ilmu dan otoritas, serta menghindari manipulasi karya ilmiah dengan AI. Pada akhirnya, menjaga integritas ini bukan semata-mata soal mematuhi aturan akademik, melainkan upaya sadar untuk mempertahankan esensi kemanusiaan kita di hadapan mesin.

Dalam menghadapi disrupsi kecerdasan buatan, konsep Ta'dib menawarkan kerangka kerja yang kokoh untuk menjaga nilai-nilai fundamental kemanusiaan. "Orang yang beradab akan menghormati hierarki ilmu dan otoritas," kata Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, mengingatkan kita bahwa proses mendapatkan ilmu sama pentingnya dengan hasil akhir. Dengan Ta'dib, teknologi menjadi sarana untuk kebaikan peradaban, bukan penyebab kemunduran intelektual dan moral.

Referensi:

  1. Al-Attas, S. M. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ABIM.
  2. Daud, W. M. (2019). Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam sejarah dan masa kini. CASIS-HAKIM.
  3. Floridi, L. (2018). AI -An Wthical Framework for a Good AI Society: Opportunities Risk, Principles, and Recommendations. Minds and Machines, 28(04), 89-707.

Biodata Penulis:

Anisatul Haniah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.