Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mengapa Banyak Anak Muda Rajin Beribadah Saat Sedih, tetapi Longgar Saat Bahagia?

Yuk selami makna ibadah dengan cara yang lebih personal dan bertahap, agar hubunganmu dengan Tuhan tumbuh alami, lembut, dan penuh kedewasaan.

Oleh Sita Aishah Putri

Banyak anak muda sedang berada dalam proses mencari keseimbangan antara emosi, rutinitas, dan kehidupan spiritualnya. Di tengah kesibukan kuliah, pertemanan, dan tuntutan sehari-hari, ibadah kadang terasa dekat, tetapi di waktu lain terasa jauh. Ada masa ketika seseorang bisa beribadah dengan tenang dan rutin, namun pada masa lainnya kebiasaan itu tiba-tiba menurun. Pola naik-turun seperti ini sebenarnya wajar, dan justru sering muncul saat seseorang belum menemukan makna yang lebih dalam dari ibadah itu sendiri.

Mengapa Banyak Anak Muda Rajin Beribadah Saat Sedih

Ketika sedang terluka, entah karena putus cinta, tekanan akademik, atau masalah keluarga, ibadah terasa seperti ruang aman. Salat menjadi tempat menumpahkan keluh, doa menjadi bahasa paling jujur. Pada masa-masa seperti ini, kedekatan dengan Tuhan terasa begitu kuat. Namun hubungan itu sering kali melemah ketika luka mulai sembuh. Saat perasaan sudah stabil dan hidup kembali berjalan seperti biasa, rutinitas ibadah yang sebelumnya rajin perlahan menghilang. Banyak orang tidak sadar bahwa mereka hanya merasa membutuhkan ibadah ketika emosi sedang kacau.

Fenomena ini bukan karena seseorang tidak punya iman, tetapi karena makna ibadah belum sepenuhnya tertanam. Bagi banyak anak muda, ibadah masih dipandang sebagai respons terhadap keadaan, bukan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari. Pola keberagamaan ini terbentuk dari berbagai faktor. Lingkungan keluarga yang longgar dalam membiasakan ibadah membuat seseorang tidak memiliki fondasi kedisiplinan sejak kecil. Kurangnya figur teladan yang konsisten juga membuat seseorang tidak melihat ibadah sebagai sesuatu yang penting untuk dipertahankan ketika hidup sedang baik-baik saja.

Selain itu, kondisi emosi pada usia remaja dan dewasa muda cenderung tidak stabil. Di masa ini seseorang masih belajar memahami diri, mengelola perasaan, dan mencari arah hidup. Ketika emosi sedang berat, ibadah terasa relevan. Namun ketika suasana hati membaik, perasaan “Aku sudah baik, aku tidak perlu ibadah dulu” sering muncul tanpa disadari. Ibadah akhirnya bersifat situasional, bukan spiritual.

Dalam proses pendampingan spiritual, perubahan biasanya dimulai dari langkah-langkah sederhana. Tidak ada perubahan besar yang muncul secara tiba-tiba. Justru proses yang paling efektif adalah ketika seseorang mau memulai dari satu ibadah yang benar-benar bisa ia jaga setiap hari. Misalnya, menjaga satu waktu salat yang paling mudah konsisten dilakukan. Ketika itu sudah stabil, barulah ia menambah waktu ibadah lain secara perlahan. Proses kecil seperti ini terasa ringan dan tidak membuat seseorang merasa terpaksa. Perlahan-lahan, rutinitas ini tumbuh menjadi kebiasaan.

Selain membiasakan ibadah, mengenali emosi menjadi langkah penting. Banyak anak muda tidak sadar apakah ia beribadah karena benar-benar ingin dekat dengan Tuhan, atau karena ia sedang mencari tempat berlabuh. Dengan melatih refleksi diri, misalnya melalui journaling atau sekadar memahami apa yang dirasakan setiap hari, seseorang bisa melihat pola emosinya dengan lebih jelas. Ia bisa membedakan kapan ibadah menjadi pelarian, dan kapan ibadah menjadi bagian dari kebutuhan spiritualnya. Dari sinilah makna personal terhadap ibadah mulai terbentuk.

Ketika makna telah dipahami, ibadah tidak lagi bergantung pada suasana hati. Seseorang tetap beribadah saat sedih, tetapi juga saat bahagia. Ia beribadah bukan hanya karena butuh tenang, tetapi karena ingin menjaga hubungan dengan Tuhan. Ibadah menjadi cara untuk merawat diri, menguatkan pikiran, dan menumbuhkan ketenangan batin. Proses ini memang tidak instan, tetapi justru di sanalah keindahannya. Perjalanan spiritual setiap orang berbeda, dan tidak ada yang harus sempurna.

Pada akhirnya, fenomena “rajin ibadah saat sedih, longgar saat bahagia” bukanlah tanda lemahnya iman, tetapi tanda bahwa seseorang sedang belajar memahami dirinya. Dengan langkah-langkah kecil, kebiasaan yang dibangun perlahan, dan refleksi diri yang jujur, hubungan seseorang dengan ibadah dapat tumbuh lebih stabil dan lebih matang. Ibadah tidak lagi menjadi pelarian, tetapi menjadi jalan untuk merawat hati, menjaga arah hidup, dan menemukan kedewasaan spiritual yang sesungguhnya.

© Sepenuhnya. All rights reserved.