Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mengapa Konselor yang Tulus Lebih Didengar? Ini Jawaban Carl Rogers!

Mengapa konselor perlu empati dan keaslian diri? Yuk pelajari pandangan Carl Rogers tentang hubungan konseling yang hangat dan berdampak.

Banyak orang mengira bahwa konselor yang hebat adalah mereka yang paling pintar dalam memberi nasihat. Padahal, dalam praktik Bimbingan dan Konseling (BK), konseli atau klien sering kali tidak datang untuk mencari solusi instan. Mereka datang karena ingin didengar, dipahami, dan diterima. Di sinilah kepribadian konselor menjadi penentu utama.

Mengapa Konselor yang Tulus Lebih Didengar

Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, percaya bahwa hubungan yang hangat dan manusiawi jauh lebih penting daripada teknik konseling yang rumit. Menurutnya, ada tiga kepribadian dasar yang perlu dimiliki konselor agar proses konseling benar-benar membantu konseli, yaitu keaslian diri, penerimaan tanpa syarat, dan empati.

1. Konselor yang Tidak Berpura-pura Lebih Mudah Dipercaya

Sikap pertama yang ditekankan Carl Rogers adalah congruence atau keaslian diri. Konselor yang kongruen hadir sebagai pribadi yang jujur dan apa adanya. Ia tidak berpura-pura selalu kuat, selalu benar, atau selalu tahu jawabannya.

Dalam dunia BK, keaslian ini penting karena konseli, terutama remaja sangat peka terhadap ketidaktulusan. Konselor yang terlalu kaku dan formal sering kali justru menciptakan jarak. Sebaliknya, konselor yang autentik/asli membuat konseli merasa sedang berbicara dengan manusia seolah sedang curhat, bukan sedang diinterogasi.

Keaslian bukan berarti melanggar batas profesional, melainkan keselarasan antara sikap, ucapan, dan perasaan konselor. Ketika konselor jujur pada dirinya sendiri, konseli pun lebih berani jujur.

2. Diterima Tanpa Diadili, Konseli Lebih Berani Terbuka

Ciri kedua adalah unconditional positive regards atau penerimaan positif tanpa syarat. Artinya, konselor menerima konseli apa adanya tanpa menghakimi latar belakang, kesalahan, atau pilihan hidupnya.

Banyak konseli datang ke ruang BK dengan rasa takut karena takut dianggap bermasalah, nakal, atau gagal. Jika konselor menunjukkan sikap menghakimi, sekecil apa pun, maka konseli akan semakin menutup diri. Namun, ketika konseli merasa diterima, ia akan lebih berani menceritakan hal-hal yang selama ini dipendam.

Penerimaan tanpa syarat bukan berarti membenarkan semua perilaku konseli. Konselor tetap membantu konseli memahami konsekuensi tindakannya, tetapi dilakukan dengan cara yang menghargai konseli sebagai seorang manusia. Dari sinilah perubahan mulai tumbuh.

3. Berempati, Mendengarkan dengan Hati Bukan Sekadar Telinga

Empati adalah kemampuan memahami dari sudut pandang konseli. Bukan sekadar mendengar cerita, tetapi benar-benar mencoba merasakan apa yang konseli rasakan.

Dalam praktik BK, empati membuat konseli merasa tidak sendirian. Kalimat sederhana seperti, “Saya paham, kamu pasti sangat lelah menghadapi semua ini,” bisa menjadi pengalaman yang sangat melegakan bagi konseli.

Sering kali, konseli sebenarnya mampu menemukan solusi sendiri. Yang mereka butuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengarkan tanpa menyela dan tanpa memberi penilaian. Empati memberi ruang bagi konseli untuk memahami dirinya dengan lebih jernih.

Mengapa Tiga Kepribadian Ini Penting bagi Seorang Konselor?

Di era yang penuh tekanan ini, konselor tidak cukup hanya mengandalkan teori dan teknik. Kepribadian yang tulus, menerima, dan empatik justru menjadi kekuatan utama. Konselor dengan sikap ini akan lebih mudah membangun hubungan yang aman dan penuh kepercayaan.

Bagi konselor sekolah atau Guru BK, tiga sikap ini dapat membantu mengubah citra ruang BK dari tempat “dipanggil karena masalah” menjadi “ruang aman untuk bertumbuh”. Siswa akan datang bukan karena terpaksa, tetapi karena merasa dihargai.

Carl Rogers mengingatkan kita bahwa membantu orang lain bukan soal menjadi sempurna, melainkan tentang hadir secara manusiawi. Konselor yang tulus, menerima, dan empatik bukan hanya lebih didengar, tetapi juga lebih berdampak.

Dalam Bimbingan dan Konseling, kehadiran yang penuh hati sering kali menjadi awal dari perubahan yang bermakna.

Referensi:

  • Setiawan, G. D. (2024). KEPRIBADIAN KONSELOR YANG MENDUKUNG PROSES KONSELING YANG EFEKTIF DAN BERPUSAT PADA SISWA. Daiwi Widya, 11(1), 47-60.

Penulis:

  1. Anisa Fitria Silmi Kaffah saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.
  2. Aulia Pradypta Sari saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.
  3. Rias Nurfida Zahra saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.