Oleh Laily Muqrirotul Aini
Setiap awal perkuliahan, ada satu pemandangan yang seolah tak pernah berubah yaitu deretan kursi depan yang paling bersih, paling sunyi, dan tentu saja paling kosong. Kursi itu seperti punya aura magis yang membuat siapa pun enggan mendekat. Padahal, kalau di seminar-seminar motivasi, justru orang-orang sukses selalu duduk di depan. Bahkan kadang mereka diperlakukan istimewa dengan kursi paling empuk dan posisi paling strategis. Ironisnya, di kampus, kursi depan malah jadi korban ghosting abadi mahasiswa.
Saya mahasiswa semester satu, dan sejak awal kuliah saya heran mengapa kursi depan sepi peminat? Padahal dari sana, kita bisa dengar dosen dengan jelas, lihat slide tanpa mata juling, dan katanya terlihat lebih serius. Tapi entah mengapa, banyak yang memilih barisan belakang seperti sudah menjadi naluri bertahan hidup.
Kadang saya mikir, kursi depan itu seperti mantan yang terlalu baik: semua tahu dia punya banyak kelebihan, tapi tak ada yang berani memilihnya.
Mari kita telusuri bersama alasan mengapa kursi depan selalu jadi korban ghosting mahasiswa.
Ketakutan, Tekanan, dan Tatapan Dosen Killer
Setiap mahasiswa pasti punya cerita horror dengan dosen killer. Salah jawab sedikit, langsung dibantai secara intelektual di depan kelas. Saya sendiri pernah duduk di depan bukan karena niat, tapi karena terpaksa. Awalnya saya duduk di barisan kedua, tapi kursi di depan saya kosong. Untuk menghindari amarah dosen saya berinisiatif untuk pindah ke depan.
Begitu duduk di kursi depan, rasanya seperti jadi target utama radar dosen. Setiap kali beliau menatap ke arah saya, jantung rasanya mau lepas. Bahkan untuk sekadar bergerak sedikit pun saya ragu, takut dikira gelisah karena tidak bisa menjawab. Ketika dosen mulai bertanya, saya malah menunduk, seolah sedang mencatat, padahal sedang berdoa agar tidak ditunjuk.
Sejak saat itu, saya mengerti kenapa kursi depan menakutkan: bukan karena posisinya terlalu dekat dengan papan tulis, tapi karena di sana tekanan terasa begitu nyata. Duduk di depan membuat kita merasa harus siap menjawab semua pertanyaan, padahal yang kita inginkan kadang cuma ‘selamat sampai jam kuliah berakhir’.
Belakang Adalah Tempat Paling Aman di Dunia Perkuliahan
Di kursi depan, semua gerak-gerik kita terbaca jelas. Sekali main HP, langsung kena tatapan maut. Sekali nguap, bisa disuruh jawab soal. Sementara di belakang, hidup terasa lebih tenang dan nyaman. Bisa ngobrol kecil dengan teman, pura-pura mencatat padahal lagi buka Tiktok. Jadi ya, tak heran banyak yang lebih memilih “tak terlihat” daripada “terlihat tapi tersiksa”.
Budaya Ikut-ikutan: Solidaritas Mahasiswa Barisan Belakang
Kebanyakan mahasiswa memilih kursi dibagian belakang karena ikut-ikutan dengan teman atau circle. Kita lebih memilih untuk duduk bersama teman di kursi belakang dibanding harus duduk di kursi depan yang sepi peminat dan sering dianggap sebagai sosok mahasiswa pintar dan ambis. Awalnya saya mau duduk di depan, tapi begitu teman-teman menumpuk di belakang, saya ikut mundur juga.
Fenomena ini bukan cuma terjadi di kelas, tapi juga saat seminar kampus. Pernah saya datang ke seminar motivasi, melihat kursi depan kosong total sementara barisan belakang padat sampai berdempetan. Saya yang sempat mau duduk di depan akhirnya mundur juga. Duduk di depan sendirian rasanya seperti deklarasi: “Lihat aku, aku rajin sekali!” Dan itu… terlalu berani untuk ukuran mahasiswa semester satu.
Tak bisa dipungkiri, budaya duduk di belakang adalah bentuk solidaritas paling nyata antar mahasiswa. Begitu satu orang duduk di barisan belakang yang lain pun refleks untuk ikut dan membiarkan kursi depan kosong, seperti mantan yang ditinggal tanpa pamit.
Kursi Depan: Simbol Tanggung Jawab yang Masih Dihindari
Kalau dipikir-pikir, kursi depan bukan cuma soal posisi duduk, tapi juga simbol kedekatan kita pada tanggung jawab dan sumber ilmu. Duduk di depan berarti siap ditanya, siap disorot, dan siap terlihat. Tapi kadang, kita belum siap untuk semua itu. Saya sendiri pernah merasa tekanan luar biasa saat duduk di depan bahkan untuk sekadar menggaruk kepala pun saya ragu, takut disangka tidak fokus.
Fenomena “kursi depan kosong” bisa jadi cermin kecil kebiasaan kita: ingin pintar tapi takut terlihat berusaha, ingin aktif tapi takut disorot. Kita ingin hasil yang baik, tapi masih ragu untuk melangkah ke depan.
Mungkin Suatu Hari Kita Akan Duduk di Depan
Mungkin suatu hari nanti, ketika kita sudah lebih berani menatap tantangan, kita akan sadar bahwa duduk di depan bukan hanya soal keberanian menghadapi dosen, tapi juga tentang berani mengambil posisi terdepan dalam hidup kita sendiri.
Untuk sekarang, biarlah kursi depan tetap kosong dulu. Tapi siapa tahu, pada pertemuan berikutnya, justru kita yang menempatinya bukan karena terpaksa, tapi karena akhirnya siap untuk tidak lagi meng-ghosting kesempatan.
Biodata Penulis:
Laily Muqrirotul Aini lahir pada tanggal 3 Maret 2005.