1. Lebaran Hari Kedua dan Pergi ke Punthuk
Setiap daerah punya cara unik merayakan Lebaran. Di Desa Wonosari, Kabupaten Kebumen, hari kedua Idulfitri bukan sekadar lanjutan silaturahmi. Bagi warga, pagi itu adalah waktu “naik ke punthuk”—sebuah bukit kecil yang sudah seperti halaman kedua rumah mereka.
Waktu berkumpulnya pun hampir selalu sama: sekitar pukul setengah enam pagi, saat udara masih sejuk dan matahari baru mengintip di balik pepohonan. Tanpa perlu diumumkan siapa pun, warga otomatis tahu bahwa sudah waktunya untuk munggah punthuk bersama keluarga.
2. Rantang, Tikar, dan Ritual Sederhana yang Dirindukan
Berbeda dengan tradisi besar yang penuh aturan, munggah punthuk berjalan alami. Warga membawa rantang berisi nasi, lauk, sambal, dan kadang teh panas. Ada yang menenteng tikar, ada juga yang cukup membawa koran sebagai alas.
Sesampainya di pucuk bukit, semuanya terlihat sangat akrab. Para ibu mulai membuka rantang sambil saling menawarkan masakan. Para bapak mengobrol ringan tentang panen atau pekerjaan. Dan anak-anak duduk menikmati makanan sembari melihat petasan dan balon udara.
Tujuan utamanya memang sederhana ‘makan bersama’ tapi di situlah letak kehangatannya. Tradisi ini menghidupkan rasa pulang yang sebenarnya.
3. Punthuk: Bukit Kecil dengan Pemandangan Besar
Punthuk bukanlah bukit tinggi. Namun letaknya strategis sehingga dari puncaknya, warga bisa melihat Desa Wonosari dengan jelas.
Hamparan sawah hijau membentang luas, sungai kecil melingkar seperti garis alam, kabut tipis menari di antara pohon-pohon, dan burung-burung terbang rendah. Semua itu membuat pagi di punthuk terasa istimewa.
“Dari atas sini, desa kita kelihatan indah.” ujar seorang warga yang tidak pernah absen dari tradisi ini. Kalimat sederhana itu cukup menggambarkan betapa punthuk menjadi tempat untuk menyadari betapa berharganya kampung halaman.
4. Kemeriahan Anak Muda: Dari Petasan hingga Balon Udara
Meski penuh ketenangan, tradisi munggah punthuk juga punya sisi meriah. Para pemuda datang dengan persiapan khas Lebaran: petasan dan kembang api kecil. Suara letupannya memantul di antara pepohonan dan lembah.
Puncak kemeriahan adalah saat balon udara buatan pemuda kampung diterbangkan. Balon berwarna merah, putih, atau hijau itu terangkat perlahan mengikuti arah angin. Anak-anak bersorak dan warga dewasa ikut deg-degan saat balon mulai miring.
Begitu balon berhasil melambung tinggi, semua orang bersorak gembira. Semuanya murni inisiatif pemuda desa yang ingin menambah warna pada tradisi Lebaran.
5. Mercon Gadha dan Turun Bukit yang Penuh Tawa
Setelah matahari naik dan kegiatan makan selesai, warga perlahan turun melewati jalan setapak. Tapi suasana belum benar-benar usai. Sepanjang perjalanan terdengar suara mercon gadha, petasan dari gulungan kertas panjang yang meletup beruntun dan keras.
Suara ini seperti pengiring rombongan warga yang turun dengan hati ringan. Di dekat jalan utama, anak-anak sudah menunggu ritual terakhir: es krim. Seorang penjual es krim selalu hadir setiap tahun tanpa perlu diundang.
“Belum munggah punthuk kalau belum beli es krim,” kata seorang bocah sambil menggenggam uang receh. Sederhana, tapi itulah yang membuat tradisi ini dekat di hati.
6. Tradisi Tanpa Sakralitas, Tapi Sarat Makna
Munggah punthuk tidak memiliki aturan sakral atau simbol tertentu. Tidak ada kewajiban khusus, tidak ada syarat rumit. Justru karena ringan itulah tradisi ini bertahan.
Warga duduk melingkar tanpa memandang status. Pegawai, petani, anak muda, atau orang tua—semua makan dari rantang yang sama dan merasakan hangatnya kebersamaan.
Tradisi ini bukan ritual agama, tetapi menjadi ruang sosial yang memperkuat hubungan antarwarga. Dalam kesederhanaannya, ia mengajarkan banyak hal tentang syukur dan kebersamaan.
7. Tradisi yang Bertahan di Tengah Zaman Digital
Yang menarik, anak muda yang akrab dengan gawai dan media sosial tetap ikut tradisi ini. Mereka memang memotret pemandangan dan membuat video pendek, tapi tetap duduk, tertawa, dan ikut menerbangkan balon udara.
Seorang remaja berkata, “Kalau nggak ikut munggah, rasanya kaya ada yang kurang.”
Perasaan “ada yang kurang” inilah yang menunjukkan betapa tradisi ini telah menjadi bagian dari identitas desa.
8. Lebaran, Keluarga, dan Tikar di Atas Bukit
Bagi orang luar, munggah punthuk mungkin terlihat seperti piknik biasa. Tapi bagi warga Wonosari, tradisi ini adalah cara untuk merayakan kebersamaan yang tulus.
Di atas tikar yang sama, dengan aroma nasi hangat dari rantang yang dibawa dari rumah, kebahagiaan kecil itu tumbuh dan menjadi cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di punthuk yang sederhana ini, warga menemukan kembali arti rumah.
Biodata Penulis:
Dhita Aulidya Pratiwi saat ini aktif sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi di Universitas Sebelas Maret.