Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Nasib Mahasiswa PP, Jalan Raya Udah Kayak Arena Balapan

Yuk rasakan perjuangan mahasiswa pulang-pergi! Dari motoran pagi, macet, hingga ketepatan waktu yang penuh tantangan.

Oleh Khansa Almasatul Jannah

Menjadi mahasiswa pulang-pergi alias PP itu perjuangan tersendiri. Setiap hari rasanya seperti lomba lari, tapi di atas motor. Jalan raya bukan lagi sekadar jalur transportasi, tapi arena balapan dadakan. Di balik tampang mahasiswa santai, sebenarnya banyak yang setiap pagi berjuang melawan waktu, macet, dan rasa kantuk yang belum sempat tuntas.

Rutinitas mahasiswa PP dimulai jauh sebelum kampus buka. Sementara mahasiswa kos masih rebahan dengan mata setengah tertutup, kami sudah sibuk memelototi jam dinding. Jam enam pagi berarti alarm darurat. Harus segera mandi, sarapan kilat, dan memastikan semua tugas sudah di tas. “Kalau telat dikit, ya siap-siap kena sama dosen,” begitu candaan klasik di grup WhatsApp kelas. Tapi buat kami itu bukan lelucon, itu kenyataan pahit setiap hari.

Nasib Mahasiswa PP

Saya punya kelas pagi jam setengah delapan. Jarak rumah ke kampus sekitar 30 menit kalau jalan lancar. Tapi tentu saja, jalanan pagi di kota kecil pun sekarang macetnya bisa menyaingi ibu kota. Itulah sebabnya saya harus berangkat lebih awal. Angin pagi masih menusuk, tapi suara motor-motor mahasiswa sudah ramai, seperti orkestra deru mesin yang menandai hari baru.

Biasanya saya tidak berangkat sendirian. Ada teman satu kelas yang juga mahasiswa PP. Kami punya titik kumpul di samping jalan raya tepat di samping warung kopi yang sudah buka sejak pagi. Dari sana kami berangkat bareng menuju kampus. Sambil nunggu, kami kadang ngobrol singkat soal tugas, atau sekadar membahas dosen yang suka dadakan ganti jadwal. Di titik itu, kami seperti punya ritual kecil sebelum berperang melawan lalu lintas.

Begitu mesin dinyalakan, semangat balapan langsung muncul. Kami bukan pembalap sungguhan, tapi gaya kami kadang mirip Valentino Rossi yang dikejar waktu. Lampu merah jadi momen paling menegangkan bukan karena takut tilang, tapi karena setiap detik terasa berharga. Ada kepuasan tersendiri ketika berhasil menyalip angkot yang berhenti sembarangan atau motor lain yang melaju pelan di depan. “Kalau nggak ngebut, telat!” itu prinsip tidak tertulis mahasiswa PP sejati.

Tapi tak semua hari berjalan mulus. Suatu pagi, saat minggu UTS, motor saya tiba-tiba mati di tengah jalan. Bensin habis. Saya panik, karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.15. Teman saya, yang sudah siap melaju, menepi dan membantu mendorong motor ke tepi jalan. Untungnya ada masjid di dekat situ, jadi kami titipkan motor di sana. “Udah, bonceng aku aja,” katanya sambil tertawa getir. Dalam situasi genting, solidaritas mahasiswa PP benar-benar diuji.

Perjalanan kami lanjut dengan satu motor, berdua. Angin pagi berubah jadi cambuk dingin di wajah, tapi kami tetap memacu gas. Setiap kali berhenti di lampu merah, kami saling melirik, menghitung detik, berharap waktu ikut berlari. Saya sempat berpikir, beginilah rasanya menjadi atlet yang lombanya cuma melawan jam kuliah.

Kami akhirnya tiba di kampus tepat beberapa menit sebelum dosen masuk. Napas terengah-engah, rambut acak-acakan, tapi perasaan lega bukan main. “Masih sempat,” kata saya dengan senyum lemas. Dosen mungkin tak tahu perjuangan di balik kehadiran kami pagi itu. Di absensi, nama kami hanya tercatat sebagai “hadir” padahal kenyataannya, itu hasil kerja keras menaklukkan jarak dan waktu.

Kehidupan mahasiswa PP memang sering diabaikan. Banyak yang mengira tinggal di rumah itu enak: hemat uang kos, bisa makan masakan ibu, dan tidur di kamar sendiri. Padahal, di balik semua itu ada tekanan tersendiri. ketergantungan pada kondisi jalan, cuaca, dan kendaraan. Sekali saja motor bermasalah, semua rencana bisa berantakan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, 64 persen mahasiswa di Indonesia masih tinggal bersama orang tua. Sebagian besar karena alasan ekonomi. Artinya, ribuan mahasiswa lain juga menjalani pola hidup seperti saya: bangun pagi, motoran jauh, dan pulang sore menjelang malam. Tapi data itu tidak menceritakan sisi emosionalnya rasa lelah, kekhawatiran telat, dan kebanggaan kecil setiap kali berhasil tepat waktu.

Seorang dosen saya pernah bilang, “Ketepatan waktu itu cermin tanggung jawab.” Saya setuju. Tapi bagi mahasiswa PP, ketepatan waktu juga cermin ketahanan mental. Kami belajar manajemen waktu bukan dari teori, tapi dari praktik di jalan raya. Belajar sabar ketika macet, belajar cepat berpikir saat ada rintangan, dan belajar menghargai setiap menit perjalanan.

Sekilas, cerita mahasiswa PP terdengar sepele. Namun, di tengah segala tantangan, ada nilai-nilai yang tumbuh diam-diam: disiplin, kerja sama, dan kemampuan beradaptasi. Semua itu sering tak terlihat di transkrip nilai, tapi sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin karena itulah, meski lelah, kami tetap menjalaninya dengan tawa.

Jalan raya akan tetap jadi arena balapan bagi mahasiswa PP. Bukan untuk unjuk kecepatan, tapi untuk membuktikan tekad menembus batas waktu. Di antara deru mesin dan debu pagi, kami belajar satu hal penting: perjuangan sekecil apa pun tetap bernilai, selama dilakukan dengan semangat dan niat yang tulus.

Biodata Penulis:

Khansa Almasatul Jannah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.