Oleh Najwa Rachmi
2020, banjir berulang dan debit air tinggi karena buang sampah sembarangan, walaupun di bulan yang berbeda sekarang di bulan Oktober, misalkan di Betawi, Kang Oman pernah tampilkan buku yang ditulis hasil penelitian Dr. Restu Gunawan, tentang gagalnya sistem kanal pengendalian banjir Jakarta dari masa ke masa, di buku ini membahas gagalnya sistem kanal, pilihan untuk mitigasi banjir, kita merenungkan bahwasanya hujan tidak bisa diberhentikan, pasti akan ada hujan di iklim tropis Indonesia, lalu apa memori kolektif kita tentang hujan ini? Dan apa arti manuskrip yang sudah membahas tentang itu? Jika kita tidak hati hati itu membuat rawan banjir, seperti ada letusan gunung berapi dan itu membuat banjir selain gempa, belum yang diakibatkan oleh tsunami, jadi Nusantara sangat rawan.
Pondok labu, Jakarta Selatan, berdasarkan laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana ada tiga siswa MTS Negeri 19 Pondok Labu wafat, penyebabnya yaitu ada dua karena debit air yang tinggi dan tidak bisa menahan benda atau tembok yang ada di lokasi banjir dan di Aceh Utara 31.000 jiwa yang harus mengungsi. DKI Jakarta, Jawa, Sumatera termasuk Minangkabau sejak dulu sudah menyimpan kolektif tentang banjir, memori kolektif kita tentang banjir, sejak 200-300 tahun lalu tentang hujan, banjir, kilat, badai sudah tertulis khusunya di Nusantara, mungkin alam sudah bosan bahwa gempa tsunami bahwa manuskrip mencermati sudah mengingatkan, Kang Oman mendapatkan satu lembar manuskrip (catatan orang pada masa lalu): Manuskrip Memori Kolektif Banjir di Aceh, manuskrip dengan aksara Jawi. Dalam manuskrip ini berisi tentang “Hujan di Gunung datangkan banjir, orang menanam di dalam sawah, banyak sekali fitnah di dunia, suara dalam rimba, bersemba Binatang, air kuala itu tempat masuk, orang memetik bunga di atas pohon kupula, orang didunia hati tidak senang, hina memandang perbuatan kita” (terjemahan). Ada pesan pesan bahwa ada air hujan yang mengakibatkan banjir kemudian daerah tertentu disebut sebagai tempat yang rawan banjir, ini bagian dari kearifan lokal, Sumatera itu tidak hanya Aceh yang rawan banjir, termasuk kalau dalam manuskrip manuskrip itu kita punya memori kolektif dari Minangkabau.
Dr. Pramono menulis naskah Syair Nagari Taloe Tarandam 1890 sebuah catatan pribumi tentang bencana banjir, dan ia sering menulis di media-media Minang, informasi-informasi terkait fenomena kekinian berbasis manuskrip. Di Minangkabau khususnya di surau-surau banyak sekali menyimpan manuskrip salah satunya kearifan lokalnya, dalam Syair Nagari Taloe Tarandam salah satu isinya “Air nan gadang bertambah dalam/berapa buah kampung terendam, negeri tak ubah bagai lautan/ berpanjang-panjang taulan di dalam”. Masalahnya apakah kita bisa mengandalkan perpustakaan nasional, perpustakaan daerah atau provinsi untuk merawat manuskrip? Karena kebanyakan manuskrip berada di masyarakat, peran masyarakat untuk menjaga manuskrip itu sangat luar biasa. Misalnya ada di Pesantren al- Hamidiyah, Kota Depok, Pesantren ini juga menjaga arsip arsip bersejarah.
Jika kita membicarakan hujan, banjir itu penting juga kita memikirkan penyelamatan manuskrip. Dalam tradisi islam sesungguhnya apakah pernah ada penjelasan tentang banjir? Ternyata memang banyak, tentu saja melacak sampai ke tradisi Nabi, ada satu manuskrip yang menarik, yaitu Kitab yang berjudul Kitab Alyaqin, karangan Taklif Abi Bakar Abdillah bin Muhammad bin Ubaid Al Ma’ruf Bi Ibni Abi Dunya Rahimahullah Ta’ala. Salah satu bagian dari kitab tersebut membahas tentang hujan, guntur, petir, kilat dan tentang angin, ini adalah kumpulan tentang hadits-hadits Rasulullah, bagaimana ketika kita menghadapi hujan, dan secara umum hujan pasti akan memberikan maslahat.
Di dalam salah satu riwayat disebutkan hujan yang mungkin mengakibatkan bencana itu salah satunya ke umatnya Nabi Nuh. Hujan pada dasarnya memberikan manfaat, bumi membutuhkan hujan, dan hujan juga membutuhkan tempat untuk singgah. Rasulullah memberikan tips kepada kita untuk berdoa “Alluhama shoyyiban nafi’an, Alluhama shoyyiban Hani’ an, Allahuma Sukyan Nafi’an Alluhama ya Allah, jadikanlah hujan ini memberikan manfaat”. Semoga apa yang ditulis di dalam manuskrip-manuskrip ini mengingatkan kembali kepada kita memori orang dulu bahwa memang kita ini berpotensial hujan, maka dari itu kita selalu memitigasi kemungkinan hal-hal yang buruk. Pada saat yang sama jangan panik ketika ada hujan, kita harus berikhtiar dan secara spiritual kita juga pasrah sambil berdoa yang diajarkan oleh Rasulullah.
Biodata Penulis:
Najwa Rachmi saat ini aktif sebagai mahasiswi, Sastra Indonesia, di Universitas Andalas.