Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pak Ogah: Antara Tolong-menolong dan Pungli Jalanan

Pernah bertemu Pak Ogah di jalan? Pelajari bagaimana praktik ini muncul, apa risikonya bagi pengguna jalan, dan mengapa diperlukan perubahan sosial ..

Oleh Lydia Azahra

Saat di perjalanan, sering kali kita menemukan sosok yang selalu ada di persimpangan jalan. Ia adalah Pak Ogah atau yang sering dikenal dengan Polisi Cepek yang biasanya memanfaatkan kesemrawutan lalu lintas dengan mengambil alih peran polisi dalam mengatur lalu lintas di persimpangan jalan.

Pak Ogah

Biasanya Pak Ogah menawarkan bantuan kepada penyeberang jalan seperti pejalan kaki atau kendaraan agar lalu lintas berjalan dengan baik. Namun faktanya, sering kali ia meminta imbalan berupa uang secara paksa. Ketika pengendara menyeberang jalan dengan memberikan uang, maka ia bergegas untuk membantu menyeberang jalan. Sebaliknya, jika pengendara tidak memberikan uang, maka ia pun tidak turut membantu atau bahkan menghalangi jalan, membuat pengendara lain merasa terganggu.

Dari perspektif norma masyarakat, keberadaan Pak Ogah adalah salah satu contoh kerja sama lokal. Mereka tampaknya berfungsi sebagai pengganti pengatur lalu lintas resmi di tempat yang kurang diawasi. Norma gotong royong Indonesia seolah dimanfaatkan untuk membenarkan eksistensi mereka, terutama di titik macet seperti lampu merah saat hujan deras. Banyak pengguna jalan memaklumi karena merasa dibantu, bahkan menganggap pemberian uang sebagai tip sukarela. Namun, pungutan paksa jelas melanggar etika sosial dan hukum. Dalam situasi ini, mungkin ada ketidaksetaraan karena hanya mereka yang memberikan dana yang mendapat bantuan, sementara orang lain harus bersabar atau bahkan dihalangi untuk pergi.

Aktivitas Pak Ogah tidak sah secara hukum dan tidak memiliki payung hukum resmi. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengaturan lalu lintas hanya boleh dilakukan oleh polisi lalu lintas dan perangkat resmi pemerintah terkait. Pasal 286 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009 bahkan menetapkan bahwa pelanggaran lalu lintas dapat dikenakan sanksi, dan pengaturan lalu lintas oleh pihak tidak berwenang dapat dikenakan sanksi pidana kurungan hingga 60 hari atau denda maksimal Rp 20 juta. Oleh karena itu, keberadaan Mr. Ogah adalah pelanggaran hukum yang dapat mengancam ketertiban dan keselamatan umum.

Dilihat dari latar belakangnya, ternyata kondisi ekonomi yang mengharuskan mereka untuk mengambil alih sebagai Pak Ogah. Umumnya mereka berasal dari pengangguran atau pekerja serabutan yang tidak memiliki kepastian. Mereka memilih pekerjaan ini karena bisa bebas bekerja dan memiliki hasil yang instan di setiap harinya tanpa modal dan keterampilan khusus. Tekanan ekonomi di kota besar juga semakin ketat, langkanya lowongan pekerjaan dan biaya hidup yang tinggi ditambah pengaruh lingkungan dan kegagalan sistem penyerapan tenaga kerja.

Kehadiran Pak Ogah di persimpangan jalan ini justru menimbulkan kemacetan lalu lintas karena arus pengaturan tidak professional dan membebani pengemudi seperti ojol dengan pungutan berulang. Secara sosial, ia menumbuhkan budaya pemerasan dan ketidakadilan hanya yang bayar yang lolos cepat. Mereka memiliki konsekuensi yang signifikan, kemungkinan kecelakaan meningkat karena pengaturan amatir, terutama di malam hari, biaya tambahan membebani ekonomi mikro, dan norma pemerasan menyebar ke generasi muda, merusak standar kerja halal. Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan tata kelola kota, di mana aktor informal memanipulasi ruang publik.

Selain itu, fenomena Pak Ogah menunjukkan dilema sosial yang lebih luas mengenai keadilan, keberlanjutan, dan tata kelola ruang publik. Ketika lalu lintas macet atau hujan lebat, orang merasa terbantu, tetapi mereka juga terus memberi uang untuk pungli karena takut dihambat atau merasa tidak enak hati. Ini adalah situasi di mana masyarakat seringkali berada dalam posisi ambigu. Pola hubungan seperti ini menciptakan siklus ketergantungan yang sulit dihentikan karena pemerintah, masyarakat, dan pelaku sama-sama beradaptasi dengan kondisi yang tidak ideal. Karena masyarakat percaya bahwa orang-orang informal dapat menggantikan pengaturan lalu lintas tanpa prosedur resmi, praktik ini akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi formal. Selain itu, generasi muda yang menyaksikan pungli terjadi setiap hari mungkin menganggapnya sebagai hal yang biasa dan dapat diterima, memungkinkan mereka untuk melakukan hal-hal ilegal di kemudian hari. Akibatnya, penyelesaian tidak boleh terbatas pada penindakan; itu harus mencakup perubahan budaya. Untuk meningkatkan infrastruktur lalu lintas, pemerintah harus memasang CCTV, menambah rambu, dan menempatkan petugas resmi di lokasi yang rawan. Selain itu, komunitas harus memiliki kesempatan untuk melaporkan tanpa khawatir akan diancam. Masalah ini dapat diselesaikan dengan cara yang manusiawi dan berkelanjutan jika pemerintah, masyarakat, dan pelaku bekerja sama.

Edukasi masyarakat dan program pemberdayaan seperti pelatihan kerja untuk Pak Ogah harus digabungkan dengan penegakan hukum tegas oleh polisi dan Satpol PP. Di titik rawan, pemerintah daerah dapat mempekerjakan mereka sebagai sukarelawan resmi berbayar. Di sekolah, pendidikan normatif sangat penting untuk mengajarkan anak-anak bahwa bantuan tidak boleh disertai dengan paksaan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.