Oleh Imam Gavin Shaquille
Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Bukan saya tidak mau ibadah. Saya cuma… tidak punya tenaga untuk mulai lagi.” Kalimat itu sederhana, tapi jujur. Dan mungkin, sangat dekat dengan pengalaman banyak orang termasuk kita sendiri.
Ada masa ketika ibadah terasa ringan. Bangun, salat, doa, selesai. Tidak banyak drama. Tapi ada juga masa ketika semuanya terasa berat. Bukan karena tidak percaya, bukan juga karena membenci agama. Hanya saja, hati terasa kosong, motivasi menguap, dan ibadah pelan-pelan ditunda. Awalnya sekali. Lalu dua kali. Sampai akhirnya terbiasa tidak melakukannya.
Dari pengalaman mendampingi seseorang yang mengalami fase ini, saya belajar satu hal penting: jarak dengan ibadah sering kali lahir dari pembiaran kecil yang terus diulang. Kita bilang pada diri sendiri, “Nanti saja.” Dan karena tidak ada yang menghentikan, “nanti” itu jadi kebiasaan.
Yang menarik, orang-orang dalam kondisi seperti ini biasanya masih tahu mana yang benar. Mereka masih sholat Jumat, masih merasa bersalah, masih ingin berubah. Artinya, masalahnya bukan hilangnya iman. Masalahnya adalah lelah.
Sayangnya, ketika merasa jauh dari ibadah, kita sering menambah beban sendiri. Kita menuntut harus langsung sempurna. Harus langsung rajin. Harus langsung berubah total. Padahal, hati yang lelah justru semakin mundur ketika dipaksa.
Dari proses pendampingan yang saya jalani, saya justru melihat perubahan mulai muncul ketika seseorang berhenti memaksa diri dan mulai jujur pada kondisinya. Tidak lagi berkata, “Aku harus bisa semuanya,” tapi, “Apa yang paling mungkin bisa aku mulai hari ini?”
Kadang jawabannya sederhana: satu waktu sholat. Tidak perlu lima. Tidak perlu khusyuk luar biasa. Cukup hadir. Cukup sadar. Dan anehnya, dari langkah kecil itu, rasa ingin melanjutkan pelan-pelan tumbuh sendiri.
Hal lain yang sering terlupakan adalah makna ibadah. Banyak dari kita menjalankannya karena kebiasaan atau tuntutan. Ketika rutinitas itu hilang, ibadah kehilangan tempatnya. Maka bertanya pada diri sendiri “Kenapa ibadah ini penting untuk hidupku sekarang?” sering kali membuka pintu yang lama tertutup.
Lingkungan juga punya peran besar. Tidak harus lingkungan yang religius berat. Kadang cukup ada satu hal kecil: alarm sholat, teman yang mengingatkan tanpa menghakimi, atau ruang tenang untuk refleksi. Dorongan dari luar bukan tanda iman lemah, tapi penopang saat iman sedang duduk kelelahan.
Yang paling penting, menurut saya, adalah berhenti menghakimi diri sendiri. Jauh dari ibadah bukan berarti gagal total. Bisa jadi itu tanda bahwa kita sedang kehilangan arah dan butuh waktu untuk pulang. Dan pulang, seperti apa pun bentuknya, selalu dimulai dari satu langkah kecil.
Tidak ada perjalanan spiritual yang lurus tanpa belokan. Ada yang jalannya cepat, ada yang pelan. Dan tidak apa-apa. Yang penting, kita tetap mau berjalan.
Pelan-pelan. Dengan sadar. Dengan jujur.
Karena kadang, yang dibutuhkan bukan dorongan keras, tapi izin untuk kembali tanpa takut dihakimi oleh orang lain, maupun oleh diri sendiri.
Biodata Penulis:
Imam Gavin Shaquille saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi (Prodi) Bimbingan dan Konseling (BK), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), di Universitas Sebelas Maret (UNS).