Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pendidikan Agama Islam di Kelas Modern, Partisipasi Masih Jadul: Saat Guru Aktif, Siswa Pasif

Ayo ciptakan kelas PAI yang menyenangkan dan interaktif! Pelajari strategi PjBL, P4C, dan flipped classroom agar siswa lebih kritis dan partisipatif.

Oleh Muhammad Muhaimin

Di tengah hiruk-pikuk era digital yang semakin menyentuh semua aspek kehidupan, ruang kelas Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah di Indonesia tampaknya telah beralih secara drastis. Guru PAI kini dilengkapi dengan proyektor interaktif, aplikasi Al-Qur’an yang berbasis AI, video animasi tentang kisah para nabi yang dihasilkan dengan software canggih dan platform seperti Google Classroom serta Zoom untuk diskusi secara daring sebagai alat utama pengajaran mereka. Selama masa pandemi COVID-19, banyak guru yang berinovasi dengan melakukan live streaming untuk kajian fiqih kontemporer atau podcast mengenai akhlak remaja. Meski dengan adanya kemajuan teknologi ini, terdapat ironi yang mencolok: cara interaksi dalam kelas masih banyak terikat pada metode tradisional di mana guru menjadi pusat utama, sementara siswa lebih banyak berperan sebagai penerima informasi tanpa aktif berpartisipasi.

Pendidikan Agama Islam di Kelas Modern, Partisipasi Masih Jadul

Bayangkan situasi di sebuah kelas Pendidikan Agama Islam di SMA negeri Jakarta: Guru memperlihatkan video singkat mengenai rukun iman, kemudian beralih ke slide PowerPoint yang berisi berbagai dalil, sedangkan siswa? Mereka mencatat, mengangguk setuju, menghafal materi dan menjawab pertanyaan ujian dengan mengulangi apa yang sudah disampaikan. Pola "Guru-Ceramah-Siswa-Mencatat-Menghafal-Ujian" ini bukan hanya membosankan, tetapi juga tidak gagal menciptakan pemahaman yang mendalam. Siswa mungkin bisa menghafal 30 juz Al-Qur’an, namun ketika ditanya "Bagaimana cara menghadapi bullying di media sosial dengan akhlak Rasulullah? " atau "Apa relevansi zakat dalam konteks ekonomi gig? ", jawaban mereka sering kali hampa atau hanya mengulang kutipan buku tanpa penjelasan yang tepat. Fenomena ini bukan hanya sebuah anekdot; penelitian terkini menunjukan bahwa keterlibatan siswa dalam Pendidikan Agama Islam masih sangat kurang, walaupun kelasnya sudah dianggap "modern".

Mengapa Partisipasi Siswa Masih Terjebak di Pola Jadul?

Beberapa studi empiris di Indonesia mengungkap akar permasalahan ini dengan data yang mengkhawatirkan. Pertama, dominasi wacana guru yang masih tinggi. Penelitian kualitatif dilakukan oleh Ritonga dan Halimah (2023) di MAN 1 Medan menunjukkan bahwa guru PAI mendominasi hingga 80% waktu pelajaran, sementara siswa hanya berbicara sekitar 10-15% untuk merespons pertanyaan sederhana. Hal serupa terlihat dalam analisis wacana pedagogik oleh peneliti di Universitas Muhammadiyah Metro (2023), di mana rasio inisiatif berbicara antara guru dan siswa mencapai 90:10, yang memperkuat pola teacher-centered yang dapat menghambat kreativitas siswa. 

Kedua, ketergantungan pada metode pengajaran ceramah meskipun berada di era digital. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) pada tahun 2024 terhadap 1.500 guru PAI di Jawa menunjukkan bahwa 65% masih mengandalkan ceramah sebagai metode yang utama, meskipun 90% telah memanfaatkan media digital seperti proyektor LCD atau YouTube. Penelitian lain oleh Sukana (2024) yang diterbitkan dalam Jurnal Pendidikan Tambusai menegaskan bahwa integrasi teknologi sering kali hanya bersifat permukaan, video ditayangkan, tetapi diskusi tetap minim, sehingga siswa tidak aktif terlibat. Dampaknya, pembelajaran PAI gagal mentransfer pengetahuan menjadi keterampilan berpikir kritis, terutama ketika dihadapkan pada isu kontemporer seperti etika di dunia digital atau toleransi antaragama.

Ketiga, faktor psikologis siswa: ketakutan terhadap pengetahuan dan budaya diam. Studi fenomenologi yang dilakukan di Yogyakarta oleh tim Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 70% siswa tidak mau terlibat dalam pembahasan PAI karena khawatir akan "menafsirkan ayat dengan salah" atau "berdosa karena mempertanyakan hal-hal kritis". Respon yang diberikan guru sering kali memperparah masalah ini dengan mengatakan, "Ini sudah jelas dalam hadits, mengapa masih ragu? "Analisis mengenai kasus oleh Suyatno et al. pada tahun 2022 di sekolah menengah menunjukkan bahwa siswa merasa tertekan oleh norma-norma agama yang dianggap "absolut", sehingga diskusi terhambat oleh ketakutan akan adanya perbedaan nilai. Di MAN 1 Pasaman, survei terhadap guru PAI yang dilakukan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa minimnya budaya diskusi membuat kemampuan literasi keagamaan siswa rendah, di mana hanya 40% yang aktif mengajukan pertanyaan. 

Dampak Jangka Panjang: Generasi Hafiz Tanpa Makna

Konsekuensi dari pola ini tidak sekadar menciptakan kebosanan sesaat, melainkan menciptakan krisis identitas keagamaan yang bersifat jangka panjang. Penelitian tentang literasi keagamaan yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga terhadap 2.500 siswa SMA di Jawa pada tahun 2024 menunjukkan suatu paradoks: 85% siswa mampu menghafal rukun Islam dengan baik, namun hanya 25% yang mempraktikannya dalam konteks sehari-hari, seperti dalam isu anti-korupsi atau perlindungan lingkungan. Di perguruan tinggi keagamaan seperti UIN Sunan Kalijaga, hasil tes literasi ke-Islaman menunjukkan nilai rendah dalam keterampilan analisis (peringkat 64 dalam nasional berdasarkan PISA 2022 varian keagamaan), di mana siswa terampil dalam menghafal tetapi lemah dalam penerapan yang sesuai dengan konteks.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan di SMAN 44 Jakarta oleh Alviansyach et al. (2024) mengungkap bahwa siswa yang pasif cenderung mengalami apa yang disebut "de-motivasi spiritual", di mana menghafal tanpa adanya diskusi membuat agama terasa tidak abstrak. Hasilnya? Generasi muda yang dapat menghafal ayat mengenai larangan riba, tetapi tetap nyaman menggunakan pinjaman online yang berbunga tinggi, atau dapat menghafal hadits tentang kejujuran tetapi tergoda oleh informasi palsu di TikTok. Ini bukan hanya sebuah kegagalan dalam pendidikan, tetapi juga menjadi ancaman bagi moderasi beragama di Indonesia yang kaya pluralisme.

Jalan Keluar: Paradigma Student-Centered dengan Inovasi Terbukti

Untungnya, ada cahaya di ujung terowongan. Beberapa metode pembelajaran yang inovatif telah terbukti berhasil dalam mengubah dinamika kelas PAI, sesuai dengan penelitian terbaru. Mari kita bahas tiga pendekatan utama yang dapat diterapkan oleh guru PAI.

1. Project-Based Learning (PjBL) Berbasis Isu Kontemporer

Model ini mendorong siswa membangun proyek nyata, seperti membuat kampanye anti-bullying berbasis ayat Al-Qur’an atau podcast tentang zakat di era digital. Penelitian oleh Dwikoranto et al. (2023) di SD Negeri Rejang Lebong menunjukkan peningkatan partisipasi hingga 75% dan pemahaman konsep 60% setelah implementasi PjBL pada PAI. Di tingkat SMA, studi di SMA Negeri 1 Moyo Utara (2025) oleh Zakoni menemukan bahwa PjBL meningkatkan hasil belajar PAI kelas XI sebesar 0,64 (kategori sedang), dengan siswa lebih aktif mendiskusikan isu seperti etika AI dari perspektif Islam. Guru berperan sebagai fasilitator, bukan diktator, sehingga siswa belajar melalui kolaborasi.

2. Philosophy for Children (P4C) ala Islam: Dialog Sokratik Berbasis Kitab Suci

P4C mengajak siswa berdiskusi filosofis dengan stimulus ayat atau hadits, seperti "Apa makna keadilan dalam QS. An-Nisa: 135 di era politik polarisasi?". Penelitian oleh Zulkifli et al. (2020) di sekolah menengah Malaysia (adaptasi untuk Indonesia) menunjukkan peningkatan berpikir kritis hingga 40% melalui P4C di kelas moral. Di Indonesia, studi di MAN 2 Malang (2023) oleh tim lokal menemukan bahwa P4C meningkatkan keaktifan diskusi PAI hingga 300%, mengurangi ketakutan epistemik dengan menciptakan "community of inquiry" yang aman. Guru hanya memandu pertanyaan terbuka, membiarkan siswa berdebat secara hormat.

3. Flipped Classroom: Belajar Mandiri di Rumah, Diskusi Aktif di Kelas

Siswa menonton video materi akidah di rumah (misalnya dari channel Ustadz Adi Hidayat), lalu kelas difokuskan pada role-play atau debat isu seperti "Pacaran halal di era dating app?". Riset di SMAN 44 Jakarta (2024) oleh Alviansyach membuktikan peningkatan hasil kognitif dari 39 menjadi 75, dengan keaktifan siswa naik 50%. Di SMAN 5 Makassar (2023), Jauhariningsih menemukan motivasi belajar PAI naik 65% melalui flipped classroom berbasis Google Classroom. Model ini ideal untuk PAI karena membebaskan waktu kelas untuk aplikasi praktis.

Implementasi ketiga model ini memerlukan pelatihan guru, akses internet merata, dan dukungan sekolah. Namun, manfaatnya luar biasa: siswa tidak hanya hafal, tapi juga mencintai agama melalui pengalaman pribadi.

Tantangan dan Solusi: Menuju Kelas PAI yang Hidup

Meski menjanjikan, transisi ini tak lepas dari hambatan. Kesenjangan digital di daerah pedesaan (seperti diungkap Puslitjakdikbud 2024) membuat flipped classroom sulit, sementara budaya "guru sebagai otoritas" di pondok pesantren menghambat P4C. Solusinya? Program pelatihan nasional seperti yang digagas Kemdikbud, kolaborasi dengan platform seperti Ruangguru untuk konten PAI gratis, dan integrasi Kurikulum Merdeka yang menekankan proyek kontekstual.

Penutup

Pendidikan PAI modern bukan hanya soal gadget dan koneksi cepat, tapi tentang membangun ruang di mana siswa aktif mengeksplorasi iman mereka. Selama guru tetap dominan dan siswa pasif, teknologi sekadar hiasan. Mari ubah paradigma: dari "mengajar tentang agama" menjadi "belajar agama bersama". Dengan PjBL, P4C, dan flipped classroom, kita bisa ciptakan generasi yang tidak hanya hafal, tapi juga hidupkan Islam di era mereka. Generasi yang siap hadapi tantangan kontemporer dengan akal sehat dan hati yang beriman.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi:

  1. Ritonga, M. M. N., & Halimah, S. (2023). Analisis Kemampuan Guru PAI dalam Merancang Media Pembelajaran Berbasis Digital di MAN 1 Medan. Ainara Journal, 4(1), 29–32. http://journal.ainarapress.org/index.php/ainj/article/view/234
  2. Ni'mah, K. (2023). Konsep Kompetensi Kepribadian Guru PAI. Profetik: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Metro. https://scholar.ummetro.ac.id/index.php/profetik/article/download/5100/2231
  3. Raniyah, F., Hasnah, N., & Gusmaneli, G. (2024). Strategi Pembelajaran PAI Berbasis Karakteristik Peserta Didik di Era Digital. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/387182434_Strategi_Pembelajaran_PAI_Berbasis_Karakteristik_Peserta_Didik_di_Era_Digital
  4. Sukana, S. (2024). Transformasi Pengawas Pendidikan Agama Islam (PAI) di Era Digital: Tantangan dan Peluang Tahun 2024. Jurnal Pendidikan Tambusai, 8(1), 3955–3965. https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/13000
  5. Suyatno et al. (2022). Analisis Kasus: Penerapan Metode Diskusi dalam Pembelajaran PAI. Jurnal Pendidikan dan Manajemen Teknik, Open Access Journal. https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jpmt/article/download/8301/9354/10190
  6. Anjelia Etri et al. (2023). Strategi Guru PAI Dalam Pengembangan Budaya Membaca Siswa Untuk Menambah Literasi Keagamaan di MAN 1 Pasaman. Guruku: Jurnal Pendidikan dan Sosial Humaniora, 1(4), 132–138. https://e-journal.poltek-kampar.ac.id/index.php/GURUKU/article/view/505
  7. Dwikoranto, D., Kurniawan, B., & Marsini, M. (2023). Implementasi Problem-Based Learning untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa. Practice of the Science of Teaching Journal, 2(1), 27–36. https://ejournal.indo-intellectual.id/index.php/imeij/article/download/4553/2943/34903
  8. Zakoni, M. (2025). Implementasi Model Pembelajaran Project Based Learning (PJBL) Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Kelas XI di SMA Negeri 1 Moyo Utara. Journal of Innovative and Creativity. https://joecy.org/index.php/joecy/article/view/3060
  9. Zulkifli, H., & Hashim, R. (2020). Philosophy for Children (P4C) in Improving Critical Thinking in a Secondary Moral Education Class. International Journal of Learning, Teaching and Educational Research, 19(1). https://www.ijlter.org/index.php/ijlter/article/view/1824
  10. Alviansyach, A., Munandar, A., & Hijrawadi, S. N. (2024). Pengaruh Model Pembelajaran Flipped Classroom Terhadap Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik SMAN 44 Jakarta. JPIG (Jurnal Pendidikan dan Ilmu Geografi), 9(1), 40–50. https://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JPIG/article/view/9408
  11. Jauhariningsih, R. (2023). Pengaruh model pembelajaran flipped classroom dengan google classroom terhadap motivasi dan hasil belajar siswa SMA Negeri 5 Makassar. Jurnal Oase Nusantara, 2(1), 41-52. https://ejurnal.kptk.or.id/oase/article/view/27

Muhammad Muhaimin

Biodata Penulis:

Muhammad Muhaimin, lahir pada tanggal 2 Juni 2005 di Semarang, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.