Oleh Nur Khofia Indah Lestari
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan Islam menghadapi perubahan besar akibat perkembangan teknologi dan dinamika sosial mahasiswa. Jika dulu pemahaman agama banyak dibentuk oleh kajian tatap muka, buku-buku tebal, dan ceramah di kelas, kini mahasiswa lebih sering belajar lewat potongan video, infografis, dan opini singkat dari berbagai platform digital. Fenomena ini membuat cara mahasiswa memahami agama menjadi lebih cepat, lebih variatif, dan kadang lebih dangkal karena konten yang dikonsumsi sering terlepas dari konteks ilmiah. Kondisi ini menuntut pendidikan Islam untuk bertransformasi, bukan dengan memusuhi teknologi, tetapi dengan hadir lebih dekat dan relevan bagi kehidupan mahasiswa yang hidup di tengah banjir informasi.
Jika kita amati lebih dekat dinamika di kampus Islam, ada kecenderungan menarik: sebagian mahasiswa terlihat sangat aktif di kegiatan keagamaan, sebagian lagi belajar agama secara mandiri dari internet, sementara kelompok lain justru menjalani agama tanpa banyak memperlihatkan identitas religiusnya secara terbuka. Keragaman ini menunjukkan bahwa religiusitas mahasiswa tidak bisa lagi dilihat dari tampilan atau kehadiran mereka dalam kegiatan formal. Mereka menjalani spiritualitas dengan cara yang berbeda-beda—ada yang rajin ikut kajian, ada yang belajar lewat konten dakwah digital, dan ada pula yang menjaga ibadah secara personal tanpa banyak bicara. Pendidikan Islam yang kaku tidak akan mampu menyentuh keragaman model keberagamaan ini; yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lentur, dialogis, dan mampu mengapresiasi perjalanan spiritual tiap mahasiswa.
Di sisi lain, proses pembelajaran agama di kelas sering kali masih terbatas pada teori, definisi, dan hafalan. Materi seperti fiqih, akhlak, tafsir, atau sejarah Islam disampaikan sebagai kumpulan konsep yang harus diingat, bukan sebagai pedoman untuk menghadapi persoalan hidup. Padahal, mahasiswa hari ini berhadapan dengan masalah yang tidak ringan: tekanan akademik, konflik keluarga, kesehatan mental, kehidupan organisasi, relasi pertemanan, hingga persoalan jati diri. Mereka membutuhkan pendidikan agama yang bisa membantu memahami bagaimana bersikap ketika kecewa, bagaimana berdamai dengan diri sendiri, atau bagaimana tetap berpegang pada nilai-nilai Islam ketika dunia terasa tidak stabil. Ketika pendidikan hanya menyajikan teori tanpa mengaitkannya dengan realitas mahasiswa, nilai-nilai agama menjadi terasa jauh dan tidak menyentuh kehidupan.
Religiusitas mahasiswa yang semakin beragam juga membuat peran dosen menjadi sangat penting. Dosen tidak lagi cukup berperan sebagai penyampai materi, tetapi sebagai pembimbing yang memahami perjalanan batin dan intelektual mahasiswa. Mahasiswa sekarang membutuhkan ruang bertanya yang aman, tempat mereka bisa mengungkapkan kebingungan, keraguan, atau kegelisahan tanpa takut dihakimi. Ketika dosen membuka ruang dialog dan memahami konteks hidup mahasiswa, nilai-nilai Islam jauh lebih mudah diinternalisasi. Bahkan, satu pertemuan yang hangat dan manusiawi bisa membawa dampak lebih kuat dibandingkan serangkaian ceramah panjang yang tidak menyentuh persoalan riil mereka.
Pendidikan Islam yang membumi juga berarti mampu berdialog dengan budaya digital yang sedang membentuk pola pikir generasi muda. Bukan hal bijak jika kampus hanya menolak konten-konten agama yang berkembang di media sosial, karena justru di situlah mahasiswa banyak membangun persepsi tentang agama. Yang diperlukan adalah menguatkan kemampuan literasi keagamaan, membantu mahasiswa memilah mana ajaran yang bersumber kuat dan mana yang hanya sensasi viral. Dengan pemahaman yang matang, mahasiswa bukan hanya menjadi konsumen konten keagamaan, tetapi justru dapat menjadi produsen konten dakwah yang kreatif, santun, dan sesuai nilai-nilai Islam.
Pendidikan Islam yang relevan di era digital adalah pendidikan yang berani bertransformasi, dari pendekatan yang kaku menuju pendekatan yang manusiawi dan kontekstual. Pendidikan Islam tidak boleh berhenti pada ruang kelas atau tumpukan teori, tetapi harus hadir dalam perjalanan hidup mahasiswa: mendampingi mereka memahami diri, menghadapi tekanan, dan menemukan makna beragama yang lebih dewasa. Ketika pendidikan Islam mampu membumi, kampus bukan hanya menjadi tempat memperoleh nilai akademik, tetapi menjadi ruang pertumbuhan moral, spiritual, dan emosional. Inilah inti dari pendidikan Islam yang hidup: pendidikan yang menjawab kebutuhan realitas, bukan hanya memenuhi kurikulum.
Biodata Penulis:
Nur Khofia Indah Lestari saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, di Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.