Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pendidikan Islam vs AI: Kawan atau Lawan bagi Madrasah?

Ingin madrasah tetap relevan di era AI? Pelajari cara cerdas memadukan teknologi dan tradisi Islam untuk mendidik generasi yang beradab dan berilmu.

Oleh Nur Shania

Di berbagai forum pendidikan, topik yang paling sering mencuri perhatian akhir-akhir ini bukan lagi soal kurikulum atau metode belajar, tetapi satu kata, yakni AI (Artificial Intelligence). Teknologi kecerdasan buatan hadir begitu cepat, seolah membuat banyak institusi pendidikan, terutama madrasah harus berlari mengejar agar tidak tertinggal terlalu jauh. Namun di balik kekaguman terhadap kemampuannya, muncul kegelisahan yang tak bisa diabaikan: Apakah AI ini kawan atau justru lawan bagi pendidikan Islam?

Pendidikan Islam vs AI

Pertanyaan seperti ini sering terdengar berlebihan, tapi sejatinya wajar. Madrasah memiliki warisan panjang dalam menjaga tradisi ilmu dan adab. Sementara AI hadir sebagai simbol percepatan, efisiensi, dan otomatisasi. Dua dunia yang tampak bertolak belakang ini pada akhirnya harus bertemu.

Sebagian guru merasa waswas. Ada ketakutan tersendiri ketika melihat murid mampu menyelesaikan tugas hanya dengan satu perintah singkat kepada chatbot. Muncul juga kekhawatiran bahwa AI dapat menggeser peran guru, terutama dalam hal menyediakan informasi.

Kekhawatiran itu bukannya tanpa alasan. Teknologi ini memang bisa menyusun esai, merangkum bab kitab, bahkan menjawab pertanyaan fiqh. Namun ada satu hal yang tidak akan pernah digantikan: sentuhan adab yang selama ini menjadi napas pendidikan Islam. AI mampu memproses data, tetapi tidak memiliki kedalaman hati, empati, dan kewibawaan yang menjadi inti dari seorang pendidik. Guru bukan sekadar pemberi materi. Guru adalah penjaga nilai. AI bisa membantu memahami ayat, tetapi tidak bisa memberikan keteladanan. Dan di sinilah letak kekuatan yang tidak dapat “disusupi” teknologi.

Ilmu dalam Islam bukan sekadar kumpulan data. Ilmu adalah warisan, yang disalurkan melalui sanad (rantai guru ke murid) yang memiliki barakah (keberkahan). AI gagal dalam tiga esensial: 

  1. Tidak Punya Sanad: AI hanya mengolah data, tanpa mengetahui validitas emosional dan spiritual dari mana data itu berasal. Ia tidak pernah duduk bersimpuh di hadapan seorang guru yang berjuang demi ilmu.
  2. Gagal dalam Konteks: AI tidak bisa memahami maqashid syariah (tujuan hukum Islam) yang kompleks, yang memerlukan penilaian moral, etika, dan kondisi sosial budaya secara mendalam. 
  3. Hampa Ruh dan Adab: AI bisa memberikan fatwa kering, tapi tidak bisa mengajarkan khusyu' dalam salat atau ikhlas dalam beramal. Itu adalah ranah hati, ranah guru.

Di sisi lain, melabeli AI sebagai ancaman justru berpotensi membuat madrasah tertinggal. Sejarah membuktikan bahwa pendidikan Islam adalah tradisi yang sangat adaptif. Pada era klasik, para ulama dengan cepat memanfaatkan kemajuan sains, mulai dari astronomi hingga logika, tanpa kehilangan ruh tauhid.

Begitu pula hari ini. AI bukan musuh yang harus diperangi, melainkan alat yang bisa diarahkan untuk kebaikan. Madrasah dapat memanfaatkannya untuk:

  1. Membuat materi ajar lebih variatif dan menarik;
  2. Membantu guru menyiapkan asesmen dengan cepat;
  3. Membantu siswa memahami kitab dengan terjemahan dan penjelasan yang lebih mudah;
  4. Menghadirkan pembelajaran personalisasi sesuai kemampuan tiap anak.

Ketika digunakan dengan bijak, AI justru memperkuat fungsi guru, bukan menggantikannya.

Dalam pendidikan slam, AI bukan soal teknologi tetapi soal kendali nilai, yang perlu ditekankan bukanlah “apakah AI halal atau haram”, melainkan bagaimana memastikan penggunaannya tidak merusak karakter siswa. Madrasah harus kembali pada prinsip dasar: ilmu apa pun harus mengikuti nilai, bukan sebaliknya. Teknologi hanya alat; manusialah yang mengarahkannya. Pendidikan Islam memiliki modal kuat untuk itu. Konsep tahdzib an-nafs (penyucian jiwa), amanah, dan adab bisa menjadi pagar etika dalam pemanfaatan teknologi. Bila prinsip-prinsip ini dipadukan dengan keterampilan digital, siswa madrasah tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara moral.

Madrasah tidak perlu memilih antara mempertahankan tradisi atau mengejar modernitas. Dua hal itu dapat berjalan berdampingan. Tanpa tradisi, madrasah kehilangan akar. Tanpa inovasi, madrasah kehilangan masa depan. AI bukan musuh yang harus dijauhi, tetapi bukan pula “dewa baru” yang harus dipuja. Ia adalah kawan yang harus ditaklukkan dengan nilai, bukan lawan yang harus diperangi. Justru ketegasan nilai Islam-lah yang membuat pemanfaatan AI menjadi lebih terarah dan bermakna.

Pertanyaannya bukan lagi “Apakah AI cocok untuk madrasah?”, tetapi “Bagaimana madrasah memastikan bahwa pemanfaatan AI menguatkan, bukan melemahkan karakter siswa?”

Masa depan pendidikan Islam tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologinya, tetapi seberapa kuat ia menjaga manusia tetap menjadi manusia. Jika madrasah mampu menempatkan teknologi sebagai alat bukan penguasa, maka AI akan menjadi sahabat yang memperkaya tradisi, bukan ancaman yang menakutkan. Pada akhirnya, AI bisa menjadi kawan atau lawan, tergantung siapa yang memegang kendali. Dan pendidikan Islam selalu mengajarkan bahwa kendali itu harus ada pada manusia yang beradab.

Biodata Penulis:

Nur Shania saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.