Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pendidikan Teknologi Berbasis Kearifan Lokal sebagai Jembatan Masa Depan Kebudayaan Nusantara

Ayo wujudkan pendidikan teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga mampu menguatkan nilai budaya dan jati diri generasi muda.

Oleh Anis Badriyatun Niswah

Integrasi teknologi dalam pendidikan sering dipahami sebagai upaya modernisasi melalui digitalisasi, otomatisasi, dan penguatan literasi sains. Namun, modernisasi kerap membawa konsekuensi tergerusnya nilai budaya lokal. Survei Kemendikbud 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 62% pelajar SMA/SMK di Indonesia lebih mengenali budaya populer global dibanding tradisi lokal (Kemendikbud, 2023). Di sisi lain, laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 mencatat penetrasi internet nasional mencapai 79,5%, yang memperlihatkan bahwa teknologi menjadi ruang utama pembentukan identitas generasi muda (APJII, 2024). Data ini menunjukkan ketegangan: teknologi menjadi peluang kemajuan, sekaligus ancaman bagi keberlanjutan budaya.

Pendidikan Teknologi

Di tengah dilema ini, pendidikan teknologi berbasis kearifan lokal muncul sebagai paradigma strategis, bukan untuk menghambat kemajuan digital, melainkan untuk menjadikan teknologi sebagai sarana memperkuat identitas budaya Nusantara. Dengan kata lain, teknologi bukan pengganti budaya, tetapi media keberlanjutan budaya. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan UNESCO (2017) yang menekankan pentingnya integrasi nilai budaya lokal dalam pendidikan abad ke-21 untuk memastikan keberlanjutan warisan budaya di era digital.

Kearifan lokal bukan sekadar pengetahuan tradisional, tetapi sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan alam, sosial, dan spiritual. Bali memiliki Tri Hita Karana, Jawa mengenal Hamemayu Hayuning Bawana, sedangkan Jawa Barat memiliki Sabilulungan (Suwardani, 2015). Nilai seperti gotong royong, kesetaraan, dan harmoni dapat menjadi landasan desain teknologi pendidikan: pembelajaran kolaboratif, desain interaktif berbasis komunitas, hingga kurikulum berbasis masalah nyata di masyarakat.

Jika teknologi hanya diajarkan sebagai perangkat teknis seperti coding, AI, dan robotik, peserta didik akan menjadi pengguna digital tanpa akar budaya. Sebaliknya, jika teknologi ditempatkan sebagai instrumen pelestarian kebudayaan, peserta didik mempelajari cara menggunakan algoritma, pemodelan 3D, maupun kecerdasan buatan untuk mendokumentasikan tarian daerah, memetakan tanaman obat tradisional, atau merancang aplikasi pelestarian bahasa. Di tahap ini, kearifan lokal bukan ornamen; ia menjadi orientasi epistemologis dan aksiologis dari pendidikan teknologi.

Penelitian Widodo dan Jaedun (2021) menunjukkan bahwa integrasi nilai kearifan lokal dalam pembelajaran teknologi meningkatkan motivasi belajar siswa hingga 34% dibandingkan pembelajaran teknologi konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa kontekstualisasi budaya dalam pendidikan teknologi tidak hanya melestarikan nilai tradisi, tetapi juga meningkatkan efektivitas pembelajaran itu sendiri.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, pergeseran paradigma dari "teknologi untuk teknologi" menjadi "teknologi untuk budaya" memerlukan reorientasi pedagogis yang fundamental. Freire (1970) dalam teori pendidikan kritis menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan dan memberdayakan peserta didik dengan konteks sosial budaya mereka. Dalam hal ini, teknologi tidak boleh menjadi alat alienasi budaya, melainkan alat pembebasan dan pemberdayaan identitas lokal.

Konsep pembelajaran konstruktivisme sosial Vygotsky (1978) juga relevan, di mana pembelajaran terjadi dalam konteks sosial budaya yang spesifik. Ketika peserta didik menggunakan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan budaya lokal mereka, proses pembelajaran menjadi lebih bermakna karena terhubung dengan identitas dan pengalaman hidup mereka. Teknologi digital seperti augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan aplikasi mobile menjadi scaffold (perancah) yang memungkinkan peserta didik untuk berinteraksi dengan warisan budaya mereka dengan cara yang inovatif dan menarik.

Beberapa data terkini menunjukkan arah transformasi positif. Program Merdeka Belajar mengintegrasikan Project Based Learning (PjBL) berbasis komunitas di lebih dari 43% satuan pendidikan pada 2024 (Kemendikbudristek, 2024). Laporan BPS 2023 mencatat 30,5% desa digital mengembangkan aplikasi berbasis budaya atau potensi daerah (BPS, 2023). Di sektor ekonomi kreatif, kontribusi budaya lokal terhadap ekonomi digital meningkat, terutama pada subsektor fesyen dan kuliner, dua sektor yang banyak digerakkan generasi muda (Badan Ekonomi Kreatif, 2023).

Namun, data dari Pusat Kajian Budaya Universitas Indonesia (2022) menunjukkan bahwa hanya 18% guru yang memiliki kompetensi untuk mengintegrasikan kearifan lokal dengan teknologi pembelajaran. Kesenjangan kompetensi ini menjadi hambatan utama implementasi pendidikan teknologi berbasis kearifan lokal. Penelitian Suryani et al. (2020) menemukan bahwa pelatihan guru dalam pengembangan konten digital berbasis budaya lokal dapat meningkatkan kualitas pembelajaran secara signifikan, dengan peningkatan hasil belajar siswa mencapai 41%.

Data tersebut menunjukkan bahwa pelajar saat ini bukan sekadar objek modernisasi digital, tetapi calon produsen budaya digital. Artinya, transformasi teknologi sudah membuka ruang bagi pelestarian budaya; namun efektivitasnya bergantung pada desain pendidikan dan kesiapan tenaga pendidik.

Meski peluang terbuka, ancaman tetap nyata. Digitalisasi budaya sering terjebak pada komodifikasi: budaya hanya menjadi konten hiburan, bukan nilai hidup. Fenomena "festivalisasi budaya" di media sosial, misalnya tradisi lokal yang hanya ditampilkan demi popularitas, menunjukkan bahwa teknologi bisa mereduksi makna budaya menjadi konsumsi visual (Piliang, 2018). Maka, teknologi hanya akan menjadi pelestari budaya jika pendidikan membekali peserta didik dengan pemahaman historis, filosofis, dan etis tentang kebudayaan Nusantara. Tanpa itu, pelajar menjadi content creator, bukan penerus peradaban.

Castells (2010) dalam teorinya tentang masyarakat jaringan mengingatkan bahwa teknologi digital dapat memperkuat identitas lokal atau justru menghancurkannya, tergantung pada bagaimana teknologi tersebut digunakan dan untuk tujuan apa. Dalam konteks Indonesia, penelitian Heryanto (2014) menunjukkan bahwa homogenisasi budaya global melalui media digital telah mengancam keberagaman budaya lokal, terutama di kalangan generasi muda yang lebih terpapar konten global daripada konten lokal.

Di sisi lain, studi kasus dari beberapa daerah di Indonesia menunjukkan potensi positif teknologi. Di Yogyakarta, penggunaan aplikasi mobile untuk pembelajaran bahasa Jawa berhasil meningkatkan minat pelajar terhadap bahasa daerah hingga 56% (Nugroho & Mutiaraningrum, 2020). Di Bali, digitalisasi lontar (naskah kuno) menggunakan teknologi 3D scanning memungkinkan generasi muda mengakses warisan budaya leluhur mereka dengan cara yang lebih menarik dan interaktif (Suastika, 2019).

Beberapa model implementasi pendidikan teknologi berbasis kearifan lokal telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Di Sumatera Barat, program "Digitalisasi Tambo Minangkabau" melibatkan siswa SMK dalam pengembangan website dan aplikasi mobile yang mendokumentasikan sejarah dan filosofi adat Minangkabau (Rahman & Syafri, 2021). Program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknologi informasi, tetapi juga memperkenalkan siswa pada nilai-nilai filosofis Minangkabau seperti "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah."

Di Jawa Tengah, kolaborasi antara sekolah kejuruan dengan komunitas batik lokal menghasilkan inovasi teknologi pewarnaan batik ramah lingkungan berbasis pengetahuan tradisional tentang tanaman pewarna alami (Wibowo, 2020). Siswa tidak hanya belajar kimia dan teknologi, tetapi juga memahami filosofi batik dan nilai keberlanjutan lingkungan dalam kearifan lokal Jawa.

Model pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) terbukti efektif dalam mengintegrasikan teknologi dan kearifan lokal. Penelitian Wardani et al. (2022) menunjukkan bahwa PjBL yang mengintegrasikan kearifan lokal dengan teknologi digital meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sebesar 47% dan keterampilan digital sebesar 52%. Untuk menjadikan teknologi jembatan kebudayaan masa depan, pendidikan perlu direkonstruksi ke arah berikut:

1. Proyek Teknologi Berbasis Komunitas Budaya

Peserta didik tidak hanya menonton budaya, tetapi terlibat dalam proyek pelestarian seperti dokumentasi digital tarian daerah, pemetaan kuliner, pengembangan VR sejarah lokal, dan aplikasi kamus bahasa daerah. Pendekatan ini sejalan dengan konsep service-learning yang mengintegrasikan pembelajaran akademik dengan kontribusi sosial nyata (Jacoby, 2015).

2. Kolaborasi Sekolah dan Masyarakat Adat

Praktisi budaya harus menjadi mitra kurikulum. Teknologi dipelajari sambil menyerap nilai budaya langsung dari sumbernya. Model triple helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, dan komunitas lokal dapat menjadi kerangka kerja yang efektif untuk kolaborasi ini (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).

3. Literasi Etika Digital Berbasis Kearifan Lokal

Nilai gotong royong dan kesantunan Nusantara diintegrasikan dalam etika daring untuk melawan budaya individualisme dan konflik digital. Penelitian Lim (2016) menunjukkan bahwa pendidikan etika digital yang berbasis nilai lokal lebih efektif dalam membentuk perilaku digital yang positif dibandingkan pendekatan universal yang tidak mempertimbangkan konteks budaya.

4. Penguatan Ekonomi Kreatif Berbasis Identitas

Pelajar diajarkan desain teknologi yang tidak meniru budaya luar, tetapi membangkitkan kreativitas berbasis akar daerah. Konsep cultural entrepreneurship (kewirausahaan budaya) dapat menjadi fondasi untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berkelanjutan dan berakar pada identitas lokal (Klamer, 2011).

5. Pengembangan Kurikulum Terintegrasi

Kurikulum perlu dirancang secara terintegrasi, di mana pembelajaran teknologi tidak berdiri sendiri tetapi terjalin dengan pembelajaran sejarah, seni budaya, bahasa daerah, dan mata pelajaran lainnya. Pendekatan interdisipliner ini memungkinkan peserta didik memahami teknologi dalam konteks yang lebih holistik dan bermakna.

Implementasi pendidikan teknologi berbasis kearifan lokal menghadapi beberapa tantangan. Pertama, keterbatasan infrastruktur teknologi di daerah terpencil. Kedua, kesenjangan kompetensi guru dalam mengintegrasikan teknologi dan budaya lokal. Ketiga, minimnya sumber pembelajaran digital berbasis kearifan lokal yang berkualitas. Keempat, resistensi dari sebagian pihak yang menganggap integrasi budaya lokal akan menghambat penguasaan teknologi modern.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk pengembangan infrastruktur dan konten pembelajaran digital berbasis budaya lokal. Perguruan tinggi perlu mengembangkan program pelatihan guru yang fokus pada pedagogi integrasi teknologi dan kearifan lokal. Komunitas budaya perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pengembangan kurikulum dan pembelajaran. Sektor swasta dapat berkontribusi melalui program corporate social responsibility yang mendukung digitalisasi warisan budaya.

Modernisasi tidak harus menghapus tradisi, dan tradisi tidak harus membatasi inovasi. Pendidikan teknologi berbasis kearifan lokal adalah jalan tengah yang paling relevan bagi Indonesia: berorientasi pada masa depan tanpa kehilangan jejak sejarah. Keterampilan digital, kecerdasan buatan, dan inovasi hanya bernilai jika menguatkan martabat budaya. Dengan demikian, teknologi menjadi jembatan, bukan jurang, antara generasi kini dan warisan Nusantara.

Keberhasilan pendidikan tidak lagi diukur dari seberapa cepat siswa mampu menguasai perangkat digital, tetapi dari seberapa dalam mereka mampu mengintegrasikan teknologi dengan jati diri budaya. Itulah langkah fundamental untuk memastikan kebudayaan Nusantara tetap hidup dalam peradaban digital. Seperti yang dikatakan oleh Geertz (1973), budaya adalah jaring makna yang ditenun oleh manusia sendiri. Dalam era digital ini, teknologi harus menjadi alat untuk menenun jaring makna tersebut, bukan untuk mengoyaknya.

Masa depan Indonesia bukan terletak pada pilihan antara teknologi atau budaya, melainkan pada kemampuan kita untuk memadukan keduanya dalam harmoni yang produktif dan bermakna. Pendidikan adalah kunci dari harmonisasi ini, dan guru adalah arsitek yang akan merancang jembatan antara masa lalu yang bijaksana dan masa depan yang inovatif.

© Sepenuhnya. All rights reserved.