Oleh Gilga Jane Ady Puterisia
Beberapa tahun terakhir ini, kita semakin sering mendengar cerita tentang banyaknya keluarga yang kewalahan menghadapi berbagai permasalahan dalam keluarga seperti anak yang mudah marah, orang tua yang stres dengan tuntutan ekonomi, remaja yang sulit dikendalikan, hingga pasangan suami istri yang merasa “jauh secara emosional” meski tinggal serumah. Banyak orang lupa bahwa keluarga, sama seperti manusia, juga mengalami proses perkembangan. Keluarga itu hidup, berubah, dan punya tantangannya sendiri. Di sinilah peran konselor keluarga menjadi sangat penting.
Menurut saya konselor bukan hanya “damkar” ketika masalah sudah membesar. Justru, konselor adalah pendamping yang tugasnya mirip seperti seorang dokter yang memantau kesehatan dari waktu ke waktu. Tugas terpenting konselor keluarga bukan sekadar memberikan solusi. Tugas utamanya adalah menghadirkan ruang aman. Ruang di mana anggota keluarga bisa didengar tanpa dihakimi, diakui tanpa dipermalukan, dan dipahami tanpa dibandingkan. Banyak keluarga jarang punya ruang seperti ini di rumah, karena masing-masing sibuk dengan hidupnya sendiri-sendiri, ini yang sangat disayangkan. Dalam proses konseling, setiap orang diberi kesempatan untuk berbicara, merasa, dan memahami diri serta keluarganya dengan lebih terbuka.
Pada akhirnya, konselor keluarga berperan sebagai fasilitator perubahan. Mereka tidak memaksa keluarga untuk “menjadi keluarga yang sempurna”, tetapi membantu mereka berkembang sesuai perjalanan keluarga sebagai proses bertumbuh, bukan proses mencari kesempurnaan. Kita membutuhkan lebih banyak konselor keluarga yang bukan hanya ahli teori, tetapi juga peka, hangat, dan mampu memahami dinamika keluarga di Indonesia yang sangat beragam.
Lalu Bagaimana dengan Konteks Sekolah?
Sebelum membahas peran guru BK, kita perlu memahami bahwa teori-teori perkembangan keluarga memberikan pemahaman penting untuk membaca perilaku siswa secara lebih utuh. Teori Siklus Kehidupan Keluarga Duvall menjelaskan bahwa setiap keluarga berada pada tahapan yang berbeda, mulai dari pasangan baru menikah, keluarga dengan anak kecil, hingga keluarga dengan remaja dan seterusnya. Setiap tahap memiliki tuntutan emosional dan tanggung jawab yang berbeda. Jika sebuah keluarga gagal memenuhi tugas perkembangannya misalnya orang tua belum memiliki kesiapan dalam memberikan sebuah kebebasan pada anaknya yang sudah beranjak dewasa maka dampaknya sering kali muncul di sekolah dalam bentuk agresi, pembangkangan, atau penurunan motivasi. Begitu pula teori Sistem Keluarga Bowen, teori ini menyoroti bahwa perilaku seorang anak tidak bisa dipisahkan dari bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi, berkomunikasi, dan memengaruhi. Masalah siswa bisa saja merupakan cerminan konflik yang tidak terselesaikan antara orang tua, batasan keluarga yang terlalu kaku, atau kecemasan keluarga yang terlalu berlebihan. Sementara itu, teori Ekologi Bronfenbrenner mengingatkan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh berbagai lingkungan seperti keluarga, sekolah, pertemanan, kondisi ekonomi, hingga budaya. Perubahan pada salah satu lingkungan, terutama keluarga, dapat memicu perubahan pada perilaku anak di sekolah.
Untuk itu peran guru BK di sekolah menjadi sangat penting. Guru BK tidak boleh hanya melihat perilaku siswa secara sekilas, tetapi harus mampu menelusuri kemungkinan bahwa perilaku tersebut adalah hasil dari tahapan perkembangan keluarga yang sedang dialami orang tua maupun anak. Guru BK harus peka apakah seorang siswa sedang hidup dalam keluarga yang mungkin berada pada tahap penuh tuntutan, keluarga yang sedang mengalami stres ekonomi, atau keluarga yang komunikasinya kurang sehat. Pemahaman teori Duvall membantu guru BK menyesuaikan strategi konseling berdasarkan tahap perkembangan keluarga, sedangkan teori Bowen mendorong guru BK melihat apakah siswa sedang memikul beban emosi orang tua atau menjadi korban triangulasi dalam konflik rumah. Lewat teori Bronfenbrenner, guru BK dapat menyadari bahwa masalah siswa bukan hanya soal “malas belajar” atau “tidak disiplin”, tetapi juga mungkin hasil dari tekanan lingkungan yang saling terkait.
Dalam praktik sehari-hari, guru BK harus mampu membangun komunikasi yang terbuka antara sekolah dan rumah. Guru BK bukan hanya konselor bagi siswa, tetapi juga edukator bagi orang tua sekaligus penghubung antara guru mata pelajaran dengan keluarga, serta fasilitator yang membantu kedua pihak menemukan cara terbaik mendukung perkembangan anak. Guru BK perlu melakukan konsultasi keluarga, mengadakan program parenting, memberikan informasi perkembangan remaja, serta membuka ruang dialog yang sehat bagi orang tua yang kebingungan menghadapi perubahan perilaku anak. Selain itu, guru BK harus menciptakan ruang aman di sekolah, tempat siswa dapat mengungkapkan perasaan tanpa takut dihakimi atau membebani keluarga mereka.
Guru BK yang menguasai teori perkembangan keluarga akan mampu memberikan layanan yang lebih empatik, terarah, dan efektif. Mereka bukan hanya menyelesaikan masalah jangka pendek di sekolah, tetapi juga membantu memperbaiki pola komunikasi, dinamika emosi, dan dukungan keluarga di rumah. Dengan begitu, guru BK menjadi pendamping dalam perjalanan tumbuh kembang siswa menguatkan keluarga, memperbaiki hubungan, dan memastikan bahwa setiap anak mendapatkan ruang aman untuk berkembang menjadi pribadi yang tangguh dan seimbang.
Biodata Penulis:
Gilga Jane Ady Puterisia saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.