Oleh Lulu’ul Kamaliyah
Pendidikan Islam hari ini memikul tanggung jawab besar dalam membentuk cara pandang peserta didik terhadap agama di tengah derasnya arus informasi digital. Penelitian kepustakaan menunjukkan bahwa era digital tidak hanya membawa kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga membuka ruang bagi penyebaran paham keagamaan yang keras, eksklusif, dan sering kali tidak berdasar. Karena itu, peran Pendidikan Islam menjadi sangat penting untuk menghadirkan pemahaman agama yang damai, toleran, dan seimbang.
Hasil kajian literatur mengungkap bahwa nilai-nilai dasar dalam pendidikan Islam sesungguhnya mengajarkan prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), i’tidal (adil), dan tawazun (seimbang). Nilai ini dapat menjadi fondasi kuat untuk membimbing siswa agar tidak mudah terpengaruh oleh konten digital yang bersifat ekstrem atau provokatif. Pembelajaran PAI yang dikembangkan secara kontekstual dapat membantu siswa memahami bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan harmoni dan penghargaan terhadap perbedaan, bukan kebencian atau permusuhan.
Dalam banyak referensi ditemukan bahwa peserta didik kini lebih sering mendapatkan informasi keagamaan bukan dari guru atau buku pelajaran, melainkan dari media sosial seperti TikTok, YouTube, atau akun-akun dakwah digital yang tidak semuanya dapat dipertanggung jawabkan isi pesannya. Kondisi ini menuntut PAI untuk tidak sekadar memberikan teori, tetapi juga melatih siswa berpikir kritis terhadap sumber-sumber informasi. Siswa perlu dibimbing untuk mampu memilah mana konten agama yang benar dan mana yang hanya opini sepihak, sensasional, atau bahkan menyesatkan. Literasi digital keagamaan menjadi kompetensi baru yang harus ditanamkan melalui pendidikan Islam di sekolah.
Selain itu, pengalaman menunjukkan bahwa sikap keberagamaan peserta didik banyak dipengaruhi oleh keteladanan guru. Oleh sebab itu, guru PAI memiliki peran kunci sebagai figur yang mencerminkan nilai-nilai moderasi. Cara guru bertutur, menyikapi perbedaan pendapat, bersikap terhadap kelompok lain, dan mengelola dinamika kelas menjadi pembelajaran moral yang jauh lebih kuat daripada sekadar materi di buku teks. Literatur juga menegaskan bahwa siswa yang melihat teladan moderat dari gurunya cenderung mengembangkan cara pandang agama yang inklusif dan proporsional.
Kegiatan keagamaan di sekolah juga turut berperan penting dalam membangun moderasi. Program seperti pesantren kilat, diskusi tematik, atau peringatan hari besar Islam yang dikemas secara menarik dapat memperkuat pemahaman siswa tentang keberagamaan yang terbuka dan menghargai keberagaman. Penelitian kepustakaan menunjukkan bahwa pengalaman keagamaan yang positif dan humanis memberikan dampak signifikan pada pembentukan karakter moderat peserta didik.
Seluruh temuan literatur mengarah pada satu kesimpulan, yaitu Pendidikan Islam harus hadir sebagai benteng moderasi di tengah tantangan era digital. Melalui penguatan nilai-nilai Islam yang damai, peningkatan kemampuan berpikir kritis, keteladanan guru, serta kegiatan keagamaan yang inklusif, peserta didik dapat dibimbing menjadi generasi yang beragama secara bijaksana. Dengan demikian, Pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ritual keagamaan, tetapi juga membentuk cara pandang yang cerdas, toleran, dan mampu hidup berdampingan dalam masyarakat multikultural.
Biodata Penulis:
Lulu'ul Kamaliyah, lahir pada tanggal 4 Februari 2006, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, program studi Pendidikan Agama Islam.