Oleh Nuriyatin Fighya
Jogja adalah kota penuh romantika, tetapi juga penuh keramaian. Malioboro makin padat, kafe selalu ramai, dan wisata mainstream hampir selalu dipenuhi antrean. Di tengah situasi itu, banyak orang mulai mencari titik-titik sunyi yang menyisakan ruang untuk bernapas. Puncak Suroloyo di Kulon Progo adalah salah satu jawabannya.
Terletak di Pegunungan Menoreh, Puncak Suroloyo menawarkan panorama empat gunung sekaligus: Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing. Pada cuaca cerah, garis siluet gunung terlihat sempurna, seolah dipahat di langit. Namun keindahan ini bukan satu-satunya alasan orang datang. Yang membuat Suroloyo berbeda adalah atmosfernya yang hening—hening yang bukan muram, tetapi menenangkan.
Banyak pengunjung menggambarkan Suroloyo sebagai tempat untuk “mengembalikan kepala yang penuh”. Di sini, tidak ada suara klakson, tidak ada antrian wahana, tidak ada toko suvenir yang memekakkan telinga. Sebagian orang datang setelah seminggu penuh bekerja, sebagian lagi datang untuk merenung. Bahkan beberapa memilih datang subuh untuk menjemput sunrise dari gardu pandang yang dikelilingi kabut tipis.
Menariknya, Puncak Suroloyo bukan destinasi baru. Tempat ini memiliki akar budaya kuat dalam sejarah Jawa. Konon, Suroloyo pernah menjadi tempat semedi Sultan Agung. Ada tiga bangunan petilasan di sepanjang jalur, masing-masing dengan cerita simbolik tentang perjalanan spiritual. Di titik inilah Suroloyo punya daya tarik ganda: ia adalah landscape alam, sekaligus ruang kontemplatif.
Dalam beberapa tahun terakhir, akses menuju Suroloyo semakin membaik. Pemerintah Kulon Progo memperbaiki jalur, memperkuat tangga menuju puncak, hingga menambah area istirahat. Namun peningkatan akses juga membawa risiko komersialisasi. Untungnya, pengelolaan tempat ini masih relatif terkendali. Wisatawan datang dalam jumlah moderat, tidak terlalu meledak seperti Tebing Breksi atau HeHa. Bahkan saat liburan, suasana tetap jauh lebih tenang daripada area wisata mainstream.
Ada fenomena menarik: banyak anak muda datang ke Suroloyo bukan untuk foto-foto semata, tetapi untuk mencari ruang sunyi. Dalam era serbaviral, kebutuhan akan tempat sepi ternyata meningkat. Suroloyo memenuhi kebutuhan itu tanpa harus menjual konsep healing secara berlebihan. Ia cukup hadir sebagai puncak yang tinggi, berangin, dan hening—sesuatu yang semakin langka.
Suroloyo juga memberi pelajaran penting tentang bagaimana wisata bisa dikembangkan tanpa kehilangan jati diri. Tempat ini tidak dibanjiri fasilitas yang mengubah lanskap, tidak ada spot foto mencolok, dan tidak ada atraksi buatan besar. Justru suasana alami dan nilai budaya membuatnya bertahan sebagai destinasi yang punya karakter kuat.
Ketika Jogja terlalu riuh, Puncak Suroloyo adalah bukti bahwa keindahan tidak selalu berada di pusat kota atau tempat viral. Kadang ia berada di puncak sunyi, menunggu orang-orang yang butuh diam untuk kembali mengenali dirinya sendiri.
Biodata Penulis:
Nuriyatin Fighya saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @n.fghyaa