Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ramai Membuatku Hidup, Tapi Sepi Membuatku Waras

Yuk rasakan indahnya hidup di tengah keramaian dan sepi! Temukan cara menikmati tawa, hening, dan setiap momen kecil yang bikin hari lebih hidup.

Oleh Annisaa’ Nur Rahmawati

Kalian pernah gak sih ngerasa capek sama dunia karena terlalu ribut, tapi juga ngerasa bosen kalau sepi? Kalau aku sih dua-duanya. Aku bisa ketawa paling keras di keramaian, tapi bisa juga diam sambil ngalamun lama di kamar sendirian mikirin hal-hal lucu yang sering banget terjadi, kayak “kenapa sih kalau kita lagi nyari barang itu pasti mendadak ga ada, tapi kalau pas lagi ga nyari barang itu pasti ada”.

Aku bukan tipe orang yang bisa milih salah satu antara ramai atau sepi. Karena jujur aja, dua-duanya aku butuh, dua-duanya bikin aku senang, dan dua-duanya bisa buat aku ketawa sambil nangis. Dari situlah aku belajar, ternyata ramai membuatku hidup tapi sepi membuatku waras.

Keramaian Bisa Bikin Versi Diriku yang Paling Hidup

Aku itu orangnya ribet dan rumit, tapi jujur aja aku ga bisa hidup tanpa keramaian. Suara orang ngobrol, suara kendaraan di jalanan, tawa tema yang saling bersahutan, bahkan suara sepatu orang berjalan aja bisa bikin aku senang. Rasanya kayak dunia lagi pesta dan aku ikut nimbrung walau ga diundang. Di tengah ramai, aku jadi versi diriku yang paling liar. Mata terbuka lebar, jantung berdetak cepat, mulut ga bisa diem, dan otakku penuh hal aneh yang kadang ga penting buat dipikirin. Rasanya kayak baterai yang habis di charge penuh semua organ bekerja lagi dan semua pikiran hidup lagi. Kadang ramai bisa bikin aku merasa dikenal, seolah semua orang mengenalku meski sebenarnya nggak ada yang peduli aku siapa.

Ramai Membuatku Hidup, Tapi Sepi Membuatku Waras

Ramai bukan cuma tentang orang banyak, tapi tentang diakui keberadaannya. Tentang momen ketika kamu ngga sendirian dalam kekacauan dan tentang kenyataan bahwa semua orang juga capek, bingung, dan kadang pengen kabur dari realita kehidupan. Dari situ aku merasa, oh hidup ternyata seperti ini, selama aku masih bisa ketawa di tengah ributnya kehidupan, berarti aku belum sepenuhnya kalah. 

Sepi Itu Nggak Menyedihkan, tapi Menenangkan 

Keramaian kadang juga bisa bikin capek. Dunia yang terlalu ramai dan berisik itu kayak speaker yang nggak bisa dikecilin, semua orang ngomong dan semuanya pengen didenger, itu kadang bikin aku pengen pencet tombol mute buat bikin semuanya diem. Sepi datang jadi obat yang paling mujarab. Saat sepi aku bisa mendengar suaraku sendiri, aku bisa menata pikiranku yang berantakan karena kebanyakan interaksi dan terlalu banyak ekspektasi.

Sepi itu seperti ruang kosong untuk hati yang capek, tempat untuk melakukan semua hal tanpa harus menjelaskan kenapa. Sepi bukan musuh, tapi rumah sementara. Tempat untuk aku bisa pulang ketika dunia terlalu berisik. Tempat aku ngobrol sama diri sendiri tanpa takut di judge orang, dan bisa tertawa lepas karena hal receh. Kadang, setelah seharian ngobrol, tertawa, dan berinteraksi aku cuma pingin diam di kamar sendirian. Di situlah aku sadar bahwa sepi itu bukan kehilangan orang lain, tapi tentang menemukan diri sendiri.

Menemukan Hidup di Antara Ramai dan Sepi

Aku mulai sadar bahwa ramai dan sepi itu sama pentingnya. Karena hidup itu bukan tentang memilih, tapi soal menemukan keseimbangannya. Kadang ramai bikin aku bahagia, tapi kalau terlalu lama didalamnya bisa bikin capek dan pusing. Kadang sepi itu menenangkan, tapi kalau terlalu lama sendirian bisa bikin tambah overthinking. Keramaian dan kesepian bukan dua dunia yang bertentangan, karena mereka seperti siang dan malam yang bergantian tapi saling melengkapi. Kalau hidup ramai terus aku nggak sempet istirahat, tapi kalau sepi terus aku nggak punya cerita.

Sekarang aku mulai menikmati hal-hal yang dulu aku abaikan. Bunyi kendaraan di jalanan, suara tawa teman yang bersahutan, bahkan aroma kopi di pagi hari yang menenangkan. Semuanya terasa seperti irama lagu, kadang cepet, kadang pelan, tapi selalu indah kalau dijalani. Saat dunia terlalu ramai, aku tahu harus menepi dan saat dunia terlalu sepi, aku tahu waktu untuk keluar dari kesepian.

Sekarang aku bisa bilang, aku bukan manusia yang selalu butuh ramai, dan bukan juga yang terlalu suka sepi. Aku hanya manusia yang ingin menjalani kehidupan dengan ritme yang pas. Kadang ramai bikin aku semangat, kadang sepi juga bikin aku tenang, dan keduanya bisa bikin aku merasa hidup.

Hidup ini memang lucu, kadang bikin kita pengen teriak karena terlalu berisik, kadang bikin kita diam karena hening. Tapi di antara keduanya, aku belajar tertawa, berfikir, dan terus belajar untuk menikmati setiap prosesnya. Aku juga belajar bahwa hidup bukan tentang mencari tempat yang nyaman, tapi tentang berdamai dengan keadaan yang sering kali berubah. 

Selagi masih ada tawa yang keluar di antara keriuhan dunia dan masih ada diam yang kupeluk di tengah kesunyian, aku tahu aku akan baik-baik aja. Karena sesungguhnya hidup bukan tentang memilih ramai atau sepi, tapi tentang menemukan diri di keduanya. Kalau nanti dunia terlalu berisik atau terlalu senyap, aku akan tetap tersenyum sambil berkata pada diriku sendiri: “tenang aja, kamu itu lagi belajar jadi manusia yang hidup di tengah ramai, tapi tetap waras di tengah sepi.”

© Sepenuhnya. All rights reserved.