Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Relevansi Abadi Pendidikan Islam: Strategi Membentuk Karakter Digital yang Tangguh

Mari hidupkan kembali Pendidikan Islam dengan metode yang aktif, relevan, dan dekat dengan realitas Generasi Z.

Oleh Naili Nadhifah

Pendidikan Islam (PI) adalah pilar pembentuk peradaban. Di tengah gelombang globalisasi, ia memegang peranan krusial sebagai penyeimbang antara kemajuan teknologi dan kebutuhan spiritual-moralitas manusia. Saat ini, tantangan terbesar Pendidikan Islam adalah mengatasi anggapan bahwa materi agama bersifat statis dan kurang relevan dengan dinamika kehidupan Generasi Z. Banyak siswa merasa materi akhlak hanya berhenti di buku teks, gagal menjangkau keputusan mereka saat berselancar di dunia maya. Penelitian kualitatif yang mendalam menunjukkan bahwa transformasi tidak terletak pada perubahan nilai, melainkan pada metode penyampaian dan internalisasi nilai. Pendidikan Islam harus bertransformasi dari sekadar mata pelajaran hafalan menjadi laboratorium pembentukan karakter yang aktif, kontekstual, dan mampu berdialog dengan realitas modern.

Relevansi Abadi Pendidikan Islam

Memutus Rantai Pasif: Mengaktifkan Kelas dengan Metode Kontemporer

Metode pembelajaran konvensional, di mana guru mendominasi dengan ceramah, terbukti hanya menyentuh lapisan kognitif terluar siswa. Mereka mungkin lulus ujian dengan nilai tinggi, tetapi nilai-nilai utama seperti kejujuran (sidq), keadilan (adl), atau tanggung jawab (amanah) gagal terinternalisasi ke dalam perilaku sehari-hari.

Untuk mengatasi kejenuhan ini, perlu diterapkan metode pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa:

1. Penerapan Problem-Based Learning dalam Fikih dan Akhlak

Guru harus menghadirkan dilema moral kontemporer ke dalam kelas. Misalnya, alih-alih hanya menjelaskan definisi riba, siswa disajikan studi kasus tentang pinjaman online ilegal (pinjol) atau etika investasi digital. Siswa kemudian dibimbing untuk menganalisis masalah tersebut menggunakan kaidah fikih dan akhlak. Proses ini melatih kemampuan berpikir kritis Islami (Islamic Critical Thinking), yang merupakan prasyarat mutlak untuk navigasi kehidupan modern.

2. Pembelajaran Berbasis Projek (PBL) sebagai Laboratorium Nilai

PBL adalah metode yang memaksa siswa untuk menerapkan teori ke dalam praktik. Misalnya, dalam materi infaq dan shadaqah, siswa ditugaskan untuk merancang dan melaksanakan proyek sosial mini di lingkungan sekolah atau desa. Mereka bertanggung jawab penuh mulai dari perencanaan, pengumpulan dana, penyaluran, hingga pelaporan keuangan (transparansi/amanah). Dengan demikian, mereka tidak hanya memahami definisinya, tetapi merasakan langsung nilai dan tanggung jawab dari ajaran tersebut.

Membangun Etika Digital: Fondasi Tabayyun di Era Informasi

Perluasan medan dakwah kini mencakup seluruh platform media sosial. Pendidikan Islam memiliki peran krusial dalam menanggulangi penyakit masyarakat digital, seperti penyebaran hoax, ujaran kebencian (hate speech), dan cyberbullying.

1. Tabayyun sebagai Literasi Digital Utama

Prinsip tabayyun (konfirmasi dan klarifikasi) yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah adalah fondasi dari literasi digital. Guru wajib mengajarkan siswa untuk selalu menunda penilaian dan menyaring informasi sebelum membagikannya. Hal ini melindungi diri mereka dari dosa ghibah secara digital sekaligus mencegah kerusakan sosial akibat berita bohong.

2. Memperkuat Ukhuwah dalam Interaksi Online

Konsep persaudaraan (ukhuwah) harus diperluas dari interaksi tatap muka menjadi etika berkomunikasi online. Siswa harus disadarkan bahwa keyboard atau layar smartphone bukanlah tembok anonimitas yang membebaskan mereka dari tanggung jawab moral. Konsep hisbah (mengontrol diri dari perbuatan maksiat) dan qana'ah (sikap puas) menjadi relevan untuk mencegah konsumerisme berlebihan yang didorong oleh tren digital.

Peran Strategis Pendidik: Jembatan antara Teks dan Konteks

Keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada guru Pendidikan Islam. Guru tidak hanya perlu menguasai materi, tetapi juga harus mampu menjadi teladan (uswah ḥasanah) yang melek teknologi dan adaptif. Guru harus menunjukkan bagaimana ajaran Islam dapat diimplementasikan dalam tantangan yang dihadapi siswa. Guru yang mampu menggunakan media sosial secara bijak untuk menyebarkan konten edukatif dan inspiratif secara tidak langsung memberikan contoh nyata tentang bagaimana menjadi Muslim modern yang berakhlak. Ini adalah kunci agar PI terasa relevan, tidak hanya sebagai ajaran masa lalu, tetapi sebagai panduan hidup masa depan.

Pendidikan Islam tidak bertujuan mencetak individu yang menjauhi dunia, melainkan individu yang mampu menjalani kehidupan modern dengan pijakan moral yang kuat. Dengan mengadopsi metode pembelajaran aktif, mengintegrasikan akhlak digital, dan menjadikan guru sebagai fasilitator yang inspiratif, Pendidikan Islam akan berhasil mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara karakter dan bertanggung jawab secara sosial. Relevansi Pendidikan Islam adalah abadi, tinggal bagaimana kita sebagai pendidik mampu menyajikannya agar nilai-nilai tersebut tetap hidup dan mengalir dalam denyut nadi kehidupan kontemporer.

Biodata Penulis:

Naili Nadhifah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.