Oleh M Nurafni Junianto
Digitalisasi menjadi tantangan besar sekaligus peluang bagi dunia pendidikan, termasuk Pendidikan Islam. Generasi muda hari ini tumbuh dalam budaya visual, informasi cepat, dan jejaring sosial yang selalu terhubung. realitas ini membuat pola belajar, cara berpikir, serta cara mereka memahami agama turut berubah.
Namun, di tengah derasnya perkembangan tersebut, Pendidikan Islam tetap memikul misi luhur yang tidak berubah: membentuk manusia beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Pertanyaannya adalah bagaimana nilai-nilai klasik itu diterjemahkan ulang dalam konteks digital? Kajian kepustakaan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat temuan berbagai literatur kontemporer yang membahas transformasi pendidikan, etika digital, serta strategi pembelajaran modern.
Digitalisasi dan Relevansi Pendidikan Islam
Sejak awal, Pendidikan Islam tidak pernah berhenti beradaptasi dengan perubahan zaman. Sejarah mencatat penggunaan kertas, percetakan, hingga radio dan televisi sebagai media penyebaran ilmu. Era digital hanyalah lanjutan dari proses panjang tersebut. Menurut Syafril dan Azhar (2020:55), digitalisasi telah menghadirkan “ruang belajar baru” bagi peserta didik yang memungkinkan interaksi lebih luas melalui aplikasi Al-Qur’an digital, video kajian, hingga jurnal elektronik.
Literatur lain menegaskan bahwa digitalisasi mendukung prinsip tafaqquh fid-din melalui akses ilmu yang semakin mudah. Irawati (2021:102) menyebutkan bahwa siswa merasa lebih termotivasi ketika pembelajaran PAI dikemas dengan multimedia, karena konten yang visual dan interaktif membuat materi keislaman lebih mudah dipahami.
Di sisi lain, digitalisasi turut memperluas jangkauan dakwah. Kajian ulama, tausiyah inspiratif, dan literatur keislaman kini dapat diakses seluruh dunia. Fenomena ini menegaskan bahwa nilai Islam tetap relevan justru karena mampu masuk ke ruang-ruang digital yang sering menjadi tempat berkumpulnya generasi muda.
Tantangan Moral di Ruang Siber
Meski membawa manfaat besar, digitalisasi juga menimbulkan problem etika dan moral. Salah satu isu paling mencolok adalah validitas informasi keagamaan. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram dipenuhi konten dakwah, namun tidak semuanya memiliki dasar keilmuan yang kuat.
Wahyudi (2022:141) mengingatkan bahwa banyak masyarakat terutama remaja mudah terpengaruh oleh ceramah singkat yang retoris tetapi tanpa rujukan ilmiah yang jelas. Fenomena “ustadz instan” menjadi tantangan tersendiri karena dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami hukum-hukum Islam.
Tantangan lainnya adalah digital distraction. Gawai yang awalnya digunakan untuk belajar sering beralih menjadi sumber hiburan tanpa batas. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berdampak pada penurunan fokus belajar, pola ibadah, hingga interaksi sosial. Hal ini sejalan dengan temuan Alwi (2020:67) yang menyebutkan bahwa remaja Muslim semakin rentan mengalami penurunan disiplin spiritual akibat waktu layar yang tinggi.
Selain itu, era digital melahirkan risiko etika seperti perundungan siber, penyebaran konten amoral, serta budaya instan yang bertentangan dengan nilai kesabaran dan kejujuran dalam Islam. Karena itu, Pendidikan Islam perlu memperkuat pendidikan karakter dan Islamic digital ethics, yaitu kemampuan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab sesuai prinsip akhlakul karimah.
Urgensi Literasi Digital Bernilai Islam
Literasi digital sering dipahami sekadar kemampuan menggunakan perangkat, padahal dalam konteks Pendidikan Islam, literasi digital harus mencakup adab, etika, dan hikmah dalam bermedia.
Menurut Faqih (2021:88), literasi digital bernilai Islam mencakup kemampuan menyeleksi informasi, memahami konteks, dan memastikan bahwa konten yang dikonsumsi maupun diproduksi tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah.
Literasi digital semacam ini dibutuhkan agar peserta didik tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki kesadaran moral ketika berinteraksi di ruang digital. Pendidikan Islam harus hadir bukan sebagai penghambat teknologi, melainkan sebagai kompas moral yang memandu generasi digital.
Inovasi Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Islam
1. Blended Learning dan Flipped Classroom
Model blended learning merupakan metode yang menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran daring. Menurut Munawar (2019:87), model ini efektif diterapkan dalam Pendidikan Islam karena memberikan fleksibilitas sekaligus kedalaman interaksi.
Sementara itu, metode flipped classroom di mana siswa mempelajari materi secara mandiri melalui video atau modul sebelum kelas membuat waktu tatap muka dapat digunakan untuk diskusi nilai, analisis ayat, atau pendalaman akhlak. Model ini cocok untuk materi seperti fiqih dan akidah yang membutuhkan pemahaman mendalam.
2. Project-Based Learning (PjBL) Berbasis Nilai Islam
PjBL memungkinkan siswa mengubah pengetahuan agama menjadi aksi nyata. Yuliana (2020:120) menjelaskan bahwa metode ini mampu menghubungkan ajaran Islam dengan realitas sosial, misalnya proyek sedekah, kampanye etika digital, atau kegiatan menjaga kebersihan lingkungan sebagai bentuk aplikasi nilai-nilai iman. PjBL berbasis nilai Islam membantu siswa membangun karakter terintegrasi, bukan hanya tahu tetapi juga peduli dan melakukan.
3. Pemanfaatan Media Interaktif
Hidayatullah (2021:64) mencatat bahwa guru PAI yang mampu membuat video pembelajaran, kuis digital, dan modul interaktif terbukti meningkatkan keterlibatan siswa. Tidak hanya itu, media interaktif membantu menjelaskan konsep abstrak seperti ketauhidan dan akhlak dengan visual yang lebih konkret. Inovasi media ini membuat pembelajaran PAI tidak lagi dipersepsikan sebagai mata pelajaran “hafalan”, tetapi menjadi ruang dialog dan eksplorasi nilai.
Peran Guru sebagai Teladan Digital
Dalam konteks pendidikan Islam, guru tidak hanya menjadi penyampai materi, tetapi juga murabbi pendidik yang membimbing, mengarahkan, dan menjadi teladan. Dalam era digital, peran tersebut semakin kompleks. Guru harus menjadi contoh dalam bermedia sosial, cara berbicara, memilih informasi, hingga menjaga adab digital.
Literatur menunjukkan bahwa teladan guru memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter digital siswa. Ketika guru aktif membuat konten edukatif atau menunjukkan adab interaksi yang baik di ruang digital, siswa cenderung mengikuti pola yang sama.
Penutup
Digitalisasi membawa perubahan besar bagi Pendidikan Islam, tetapi perubahan itu bukan ancaman. Justru, era digital membuka ruang luas untuk memperkuat dakwah, memperluas akses ilmu, dan memperkaya metode pembelajaran. Hasil kajian kepustakaan menunjukkan bahwa inovasi pendidikan harus berjalan seiring dengan penguatan nilai, literasi digital, dan keteladanan guru.
Dengan pendekatan yang adaptif namun berpegang pada prinsip-prinsip Islam, Pendidikan Islam mampu menjadi kekuatan moral dan intelektual bagi generasi masa depan. Relevansinya tidak hanya terletak pada seberapa modern teknologinya, tetapi seberapa kuat ia mampu menjaga nilai dan membimbing manusia menuju akhlak yang mulia.
Referensi:
- Syafril & Azhar. (2020). Teknologi Digital dalam Pembelajaran Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 50–60.
- Irawati, N. (2021). Pemanfaatan Media Digital dalam Pembelajaran PAI. Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 98–110.
- Wahyudi, A. (2022). Literasi Digital dan Validitas Informasi Keagamaan di Era Media Baru. Jurnal Sosial Keagamaan, 4(1), 135–150.
- Alwi, A. (2020). Dampak Media Sosial terhadap Ibadah Remaja Muslim. Jurnal Keagamaan, 9(2), 60–72.
- Faqih, M. (2021). Etika Digital dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 8(1), 80–95.
- Munawar, S. (2019). Efektivitas Blended Learning dalam Pembelajaran PAI. Jurnal Teknologi Pendidikan, 6(1), 80–95.
- Yuliana, R. (2020). Project-Based Learning Berbasis Nilai Islam. Jurnal Inovasi Pendidikan, 12(3), 115–130.
- Hidayatullah, M. (2021). Kompetensi Literasi Digital Guru PAI. Jurnal Tarbiyah, 9(1), 60–70.